Langsung ke konten utama

Menggenjot Kebahagiaan


Dimuat di Koran Tempo, 24 April 2014

Setiap orang tentu mendambakan kebahagiaan. Di Negeri Abang Sam, mengejar kebahagiaan (pursuit of happiness) bahkan dianggap sebagai hak asasi yang melekat pada diri setiap orang, seperti halnya hak untuk hidup (life) dan memperoleh kebebasan (liberty). Dalam konteks Indonesia, tentu menarik bila kita menyoal: apakah 249 juta penduduk negeri ini sudah hidup bahagia? 

Definisi kebahagiaan sangatlah kualitatif, karena menyangkut perasaan atau kondisi emosional yang dirasakan oleh seseorang pada saat tertentu. Kondisi ini sangat dipengaruhi oleh kualitas hidup yang tengah dirasakan. Karena itu, pengukuran kebahagiaan bukanlah sesuatu yang mudah. Meskipun tak mudah, berbagai upaya telah dilakukan untuk mengukur kebahagiaan. Upaya ini didasari oleh kesadaran bahwa kebahagiaan merupakan variabel sosial yang perlu dievaluasi progresnya. 

Pada 2012, laporan bertajuk "World Happiness Report" dirilis untuk pertama kalinya oleh PBB. Laporan tersebut menyebutkan Indonesia berada di peringkat ke-83 dalam soal kebahagiaan dari 156 negara yang disurvei. Dalam World Happiness Report 2013, peringkat kebahagiaan penduduk Indonesia naik cukup signifikan dengan menempati peringkat ke-76 dari 156 negara. 

Di Indonesia, pengukuran kebahagiaan mulai dilakukan pada 2013 oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Kebahagiaan diukur melalui tiga dimensi, yakni dimensi personal (pendapatan, tingkat pekerjaan, kondisi rumah, dan aset yang dimiliki), dimensi sosial (hubungan dengan individu lain yang terdekat, termasuk anggota keluarga), dan dimensi lingkungan (keamanan dan hubungan dengan tetangga). Hasilnya baru saja dirilis pada Selasa lalu (15 April). 

Hasil wawancara terhadap 9.500 responden yang tersebar di seluruh Indonesia menunjukkan, skor indeks kebahagiaan penduduk Indonesia sebesar 65,11. Artinya, mayoritas orang Indonesia merasa bahagia menjalani hidupnya. Rentang skor indeks berkisar antara 0 (sangat tidak bahagia) hingga 100 (sangat bahagia). 

Namun patut diperhatikan, hal ini hanyalah gambaran umum yang sifatnya agregasi atau rata-rata. Skor 65,11 sebetulnya juga menunjukkan proporsi orang Indonesia yang tidak bahagia masih cukup besar. Pasalnya, angka ini tak terlalu jauh dari ambang batas skor ketidakbahagiaan yang sebesar 50.

Hasil survei juga memperlihatkan, pendapatan sangat berpengaruh terhadap tingkat kebahagiaan. Memang, kebahagiaan tidak melulu ditentukan oleh kondisi materi: miskin atau kaya. Tapi faktanya, di Indonesia, semakin tinggi pendapatan seseorang, semakin tinggi pula tingkat kebahagiaannya.

Tentunya, pertumbuhan yang diinginkan adalah pertumbuhan inklusif, yang dibarengi dengan pemerataan (growth with equity). Nyaris sepuluh tahun terakhir, kita selalu disuguhi angka-angka pertumbuhan ekonomi yang tinggi, 5-6 persen. Namun, pada saat yang sama, ketimpangan pendapatan kian melebar dan realitas kemiskinan seolah tak banyak berubah. 

Data statistik menunjukkan, pada 2013, gini rasio sudah mencapai 0,41. Artinya, ketimpangan pendapatan telah memasuki skala medium, dan pertumbuhan ekonomi tidak dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat. Sementara itu, sekitar 28,6 juta penduduk negeri ini masih bergelut dengan kemiskinan. Sulit rasanya mereka dapat merasakan kebahagiaan bila untuk memenuhi kebutuhan hidup sebesar Rp 300 ribu dalam sebulan saja mereka sudah kewalahan. *

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Subsidi untuk Keluarga Miskin

Dimuat di Koran Tempo, 21 Juli 2014 Profil kemiskinan yang dirilis Badan Pusat Statistik pada awal bulan ini (1 Juli) menyebutkan, jumlah penduduk miskin pada Maret 2014 mencapai 28,28 juta orang (11,25 persen), atau hanya berkurang 0,32 juta orang dibanding kondisi pada September 2013. Profil kemiskinan ini memberi konfirmasi mengenai dua hal. Pertama, dampak kenaikan harga bahan bakar minyak pada akhir Juni tahun lalu terhadap kehidupan masyarakat kecil cukup dalam. Ternyata, tidak sedikit dari mereka yang terjerembap ke jurang kemiskinan selepas kenaikan harga BBM dan hingga kini tetap miskin. Kedua, laju penurunan jumlah penduduk miskin terus melambat, bahkan boleh dibilang telah menyentuh titik jenuh. Hal ini menunjukkan kondisi kemiskinan yang terjadi sudah kronis (chronic poverty) serta cenderung persisten dan sulit diatasi. Mereka yang tengah bergelut dalam kemiskinan saat ini adalah penduduk dengan tingkat kapabilitas (pendidikan dan kesehatan) yang sangat rendah, tin

Produksi Padi dan Pemilihan Presiden

Dimuat di Koran Tempo, 04 Juli 2014 Ada pola yang menarik bila kita mengulik tren data produksi padi nasional selama beberapa tahun terakhir. Kenaikan produksi ternyata selalu terjadi pada tahun-tahun saat pemilihan presiden dihelat. Sebagai contoh, pada 1 Juli 2004, tiga hari menjelang pilpres putaran pertama, Badan Pusat Statistik merilis angka ramalan produksi padi nasional yang menyebutkan bahwa produksi padi pada 2004 diperkirakan mencapai 53,67 juta ton gabah kering giling, atau mengalami peningkatan sebesar 1,5 juta ton (2,93 persen) dibanding produksi pada 2003. Hal yang sama juga terjadi pada 2009. Seminggu sebelum pilpres dihelat pada 8 Juli, BPS mengumumkan bahwa produksi padi nasional pada 2009 diperkirakan mencapai 62,56 juta ton, atau naik sebesar 2,24 juta ton (3,71 persen) dibanding produksi pada 2008. Bagi sebagian kalangan, terutama yang selama ini meragukan akurasi data produksi padi/beras nasional, hal ini bukan sekadar kebetulan. Pola kenaikan tersebut dit

Kemiskinan Kronis

Dimuat di Koran Tempo, 26 September 2015                Statistik kemiskinan yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada 15 September lalu memberi konfirmasi bahwa kenaikan harga BBM pada akhir 2014 dan perlambatan ekonomi pada awal tahun ini berdampak signifikan terhadap peningkatan kemiskinan. Kombinasi keduanya sangat telak memukul daya beli masyarakat kecil akibat kenaikan harga-harga bahan kebutuhan pokok dan berkurangnya kesempatan kerja. BPS melaporkan bahwa jumlah penduduk miskin pada Maret 2015 mencapai 28,59 juta orang atau bertambah sebanyak 0,86 juta orang dibanding September 2014. Tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan juga mengalami peningkatan. BPS mencatat, indeks kedalaman kemiskinan (poverty gap index) pada Maret 2015 mencapai 1,97 atau meningkat dibanding September 2014 yang sebesar 1,75. Sementara itu, indeks keparahan kemiskinan (poverty severity index) juga naik dari 0,44 pada September 2014 menjadi 0,54 pada Maret 2015. Hal tersebut menunjukkan bahw