Langsung ke konten utama

Miskin, Rentan, dan Timpang


Dimuat di Koran Tempo, 13 Mei 2014

Rezim berkuasa saat ini kembali menorehkan capaian gemilang dalam hal pembangunan ekonomi. Hal ini tecermin dari laporan terbaru Bank Dunia yang menyebutkan bahwa Indonesia termasuk dalam 10 besar ekonomi dunia.

Produk domestik bruto (PDB) Indonesia dalam purchasing power parity atau paritas daya beli pada 2011 dilaporkan mencapai US$ 2.058 miliar. Dengan PDB sebesar ini, Indonesia berada pada urutan ke-10 dari 199 negara, dan berkontribusi sebesar 2,3 persen terhadap PDB dunia.

Capaian ini tentu membanggakan. Namun, di balik kebanggaan itu, ada kecenderungan bahwa kemajuan ekonomi yang telah dicapai selama ini, yang tergambar melalui angka-angka PDB dan pertumbuhan ekonomi, hanya menguntungkan kelompok menengah-kaya, dan kian meninggalkan kelompok miskin. Dengan kata lain, yang kaya semakin kaya, dan yang miskin tetap-bahkan bertambah-miskin.

Data-data statistik telah memberi konfirmasi mengenai hal ini. Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Sesunas), misalnya, menunjukkan bahwa saat pengeluaran kelompok terkaya tumbuh menjulang sepanjang 2013, pengeluaran kelompok termiskin justru tumbuh negatif. 

Jadi, tidak mengherankan bila kemajuan yang terjadi masih menyisakan sekitar 28 juta penduduk miskin. Ekonomi memang tumbuh mengesankan selama dasawarsa terakhir. Namun, faktanya, pertumbuhan ini hanya mampu menghela sekitar 8 juta orang keluar dari kemiskinan.

Secara faktual, meski PDB per kapita telah mencapai US$ 8.539 per tahun pada 2011, sekitar 43 persen penduduk Indonesia masih hidup dengan pengeluaran di bawah US$ 2 per hari atau US$ 730 per tahun. Artinya, nyaris 103 juta penduduk Indonesia masih berkategori miskin menurut standar Bank Dunia.

Jumlah penduduk hampir miskin (near poor) juga masih sangat tinggi. Pada 2011, jumlah penduduk dengan pengeluaran per bulan kurang dari 

Rp 350 ribu atau satu setengah kali garis kemiskinan mencapai 40 persen dari jumlah total penduduk. Angka ini menunjukkan 66 juta penduduk Indonesia sangat rentan (vulnerable) terperosok ke jurang kemiskinan bila terjadi gejolak ekonomi

Tidak membikin heran bila rasio Gini telah mencapai 0,41 poin. Angka ini memberi konfirmasi bahwa pendapatan yang tercipta dalam perekonomian sebagian besar dinikmati oleh kelas menengah dan kaya. Hasil Susenas juga memperlihatkan, pada 2013, sekitar 49 persen pendapatan yang tercipta dalam perekonomian dinikmati oleh 20 persen penduduk terkaya. Sebaliknya, 40 persen penduduk termiskin hanya kebagian sekitar 17 persen dari angka pendapatan total.

Itu pun dengan catatan, gambaran distribusi pendapatan yang terpotret melalui data Susenas sebetulnya cenderung kurang menggambarkan kondisi yang sebenarnya. Pasalnya, rasio Gini galibnya dihitung dengan menggunakan data pendapatan, bukan data pengeluaran yang dikumpulkan melalui Susenas, yang cenderung underestimate.

Sejumlah persoalan yang diulas tersebut merupakan buah dari pertumbuhan ekonomi yang kurang berkualitas. Selama ini, pertumbuhan lebih ditopang oleh sektor jasa (non-tradable) sehingga kurang melibatkan penduduk miskin. Karena itu, persoalan kemiskinan, kerentanan, dan ketimpangan pendapatan yang semakin jomplang harus menjadi fokus perhatian pemerintah mendatang. Tak bisa ditawar lagi, pertumbuhan ekonomi mesti berkualitas. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Subsidi untuk Keluarga Miskin

Dimuat di Koran Tempo, 21 Juli 2014 Profil kemiskinan yang dirilis Badan Pusat Statistik pada awal bulan ini (1 Juli) menyebutkan, jumlah penduduk miskin pada Maret 2014 mencapai 28,28 juta orang (11,25 persen), atau hanya berkurang 0,32 juta orang dibanding kondisi pada September 2013. Profil kemiskinan ini memberi konfirmasi mengenai dua hal. Pertama, dampak kenaikan harga bahan bakar minyak pada akhir Juni tahun lalu terhadap kehidupan masyarakat kecil cukup dalam. Ternyata, tidak sedikit dari mereka yang terjerembap ke jurang kemiskinan selepas kenaikan harga BBM dan hingga kini tetap miskin. Kedua, laju penurunan jumlah penduduk miskin terus melambat, bahkan boleh dibilang telah menyentuh titik jenuh. Hal ini menunjukkan kondisi kemiskinan yang terjadi sudah kronis (chronic poverty) serta cenderung persisten dan sulit diatasi. Mereka yang tengah bergelut dalam kemiskinan saat ini adalah penduduk dengan tingkat kapabilitas (pendidikan dan kesehatan) yang sangat rendah, tin

Produksi Padi dan Pemilihan Presiden

Dimuat di Koran Tempo, 04 Juli 2014 Ada pola yang menarik bila kita mengulik tren data produksi padi nasional selama beberapa tahun terakhir. Kenaikan produksi ternyata selalu terjadi pada tahun-tahun saat pemilihan presiden dihelat. Sebagai contoh, pada 1 Juli 2004, tiga hari menjelang pilpres putaran pertama, Badan Pusat Statistik merilis angka ramalan produksi padi nasional yang menyebutkan bahwa produksi padi pada 2004 diperkirakan mencapai 53,67 juta ton gabah kering giling, atau mengalami peningkatan sebesar 1,5 juta ton (2,93 persen) dibanding produksi pada 2003. Hal yang sama juga terjadi pada 2009. Seminggu sebelum pilpres dihelat pada 8 Juli, BPS mengumumkan bahwa produksi padi nasional pada 2009 diperkirakan mencapai 62,56 juta ton, atau naik sebesar 2,24 juta ton (3,71 persen) dibanding produksi pada 2008. Bagi sebagian kalangan, terutama yang selama ini meragukan akurasi data produksi padi/beras nasional, hal ini bukan sekadar kebetulan. Pola kenaikan tersebut dit

Kemiskinan Kronis

Dimuat di Koran Tempo, 26 September 2015                Statistik kemiskinan yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada 15 September lalu memberi konfirmasi bahwa kenaikan harga BBM pada akhir 2014 dan perlambatan ekonomi pada awal tahun ini berdampak signifikan terhadap peningkatan kemiskinan. Kombinasi keduanya sangat telak memukul daya beli masyarakat kecil akibat kenaikan harga-harga bahan kebutuhan pokok dan berkurangnya kesempatan kerja. BPS melaporkan bahwa jumlah penduduk miskin pada Maret 2015 mencapai 28,59 juta orang atau bertambah sebanyak 0,86 juta orang dibanding September 2014. Tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan juga mengalami peningkatan. BPS mencatat, indeks kedalaman kemiskinan (poverty gap index) pada Maret 2015 mencapai 1,97 atau meningkat dibanding September 2014 yang sebesar 1,75. Sementara itu, indeks keparahan kemiskinan (poverty severity index) juga naik dari 0,44 pada September 2014 menjadi 0,54 pada Maret 2015. Hal tersebut menunjukkan bahw