Langsung ke konten utama

Janji Lahan Pertanian


Dimuat di Koran Tempo, 31 Mei 2014

Pasangan calon presiden dan wakil presiden yang bakal bertarung dalam pemilihan presiden pada 9 Juli mendatang telah mengumbar janji ambisius soal lahan pertanian. Pasangan Prabowo-Hatta berjanji bakal membuka 2 juta hektare lahan pertanian baru untuk ditanami padi, jagung, kedelai, dan tebu. Sementara itu, pasangan Jokowi-JK juga berjanji bakal membuka lahan pertanian baru seluas 1 juta hektare di luar Jawa. 

Ibarat angin surga, janji kedua pasangan capres-cawapres ini menawarkan solusi bagi persoalan pangan negeri ini, yakni impor pangan yang terus melambung, sehingga mengancam kemandirian dan kedaulatan pangan nasional. 

Faktanya, saat ini kapasitas produksi pangan nasional tak mampu mengimbangi lonjakan permintaan seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk serta peningkatan pendapatan dan daya beli masyarakat. Penyebabnya, selain peningkatan produktivitas sejumlah komoditas pangan strategis cenderung stagnan, luas lahan pertanian tak mengalami penambahan secara berarti.

Data statistik menunjukkan, pada 2003, luas lahan pertanian mencapai 24,5 juta hektare, terdiri atas 7,9 juta hektare lahan sawah dan 16,6 juta hektare lahan kering. Pada 2012, luas lahan pertanian hanya bertambah menjadi 25,6 juta hektare dengan komposisi 8,1 juta hektare lahan sawah dan 17,5 juta hektare lahan kering. Artinya, laju penambahan luas lahan pertanian hanya sekitar 0,5 persen per tahun. Padahal, pada saat yang sama, laju peningkatan permintaan terhadap pangan mencapai 5 persen per tahun. 

Namun patut diperhatikan bahwa persoalan mengenai lahan pertanian di negeri ini sebetulnya bukan hanya bagaimana menambah luasan. Ada dua persoalan lain yang juga harus menjadi fokus perhatian pemerintah mendatang. Pertama, derasnya konversi lahan pertanian, khususnya lahan sawah, ke penggunaan non-pertanian. Setiap tahun, sekitar 60 ribu hektare lahan sawah produktif di negeri ini beralih fungsi menjadi lahan non-pertanian. 

Kedua, distribusi penguasaan lahan pertanian di tingkat petani yang kian timpang. Kini, gini ratio penguasaan lahan sudah di atas 0,5 poin. Artinya, sebagian besar lahan dikuasai oleh petani kaya, yang jumlahnya tak seberapa dibanding total jumlah petani.

Tidak mengherankan bila hasil Sensus Pertanian 2013 menyebutkan, sekitar 14,2 juta rumah tangga tani merupakan petani gurem yang mengelola lahan pertanian kurang dari setengah hektare. Skala usaha yang kecil menjadikan mereka sulit untuk merengkuh kesejahteraan dengan hanya mengandalkan usaha tani. Akibatnya, benang kusut kemiskinan di sektor pertanian menjadi sulit terurai dan pemerataan ekonomi sulit diwujudkan.

Kedua persoalan tersebut membutuhkan komitmen, keseriusan, dan ketegasan pemerintah mendatang. Persoalan pertama menyangkut lemahnya implementasi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan serta empat Peraturan Pemerintah (PP)-yakni PP No. 1/2011, PP No. 12/2012, PP No. 25/2012, dan PP No. 30/2012-tentang perlindungan lahan sawah. Sementara itu, persoalan kedua menyangkut implementasi Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA 1960) dan UU Land Reform 1961 yang mengatur batas atas dan batas bawah kepemilikan lahan, yang seolah mati suri. *

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Subsidi untuk Keluarga Miskin

Dimuat di Koran Tempo, 21 Juli 2014 Profil kemiskinan yang dirilis Badan Pusat Statistik pada awal bulan ini (1 Juli) menyebutkan, jumlah penduduk miskin pada Maret 2014 mencapai 28,28 juta orang (11,25 persen), atau hanya berkurang 0,32 juta orang dibanding kondisi pada September 2013. Profil kemiskinan ini memberi konfirmasi mengenai dua hal. Pertama, dampak kenaikan harga bahan bakar minyak pada akhir Juni tahun lalu terhadap kehidupan masyarakat kecil cukup dalam. Ternyata, tidak sedikit dari mereka yang terjerembap ke jurang kemiskinan selepas kenaikan harga BBM dan hingga kini tetap miskin. Kedua, laju penurunan jumlah penduduk miskin terus melambat, bahkan boleh dibilang telah menyentuh titik jenuh. Hal ini menunjukkan kondisi kemiskinan yang terjadi sudah kronis (chronic poverty) serta cenderung persisten dan sulit diatasi. Mereka yang tengah bergelut dalam kemiskinan saat ini adalah penduduk dengan tingkat kapabilitas (pendidikan dan kesehatan) yang sangat rendah, tin

Produksi Padi dan Pemilihan Presiden

Dimuat di Koran Tempo, 04 Juli 2014 Ada pola yang menarik bila kita mengulik tren data produksi padi nasional selama beberapa tahun terakhir. Kenaikan produksi ternyata selalu terjadi pada tahun-tahun saat pemilihan presiden dihelat. Sebagai contoh, pada 1 Juli 2004, tiga hari menjelang pilpres putaran pertama, Badan Pusat Statistik merilis angka ramalan produksi padi nasional yang menyebutkan bahwa produksi padi pada 2004 diperkirakan mencapai 53,67 juta ton gabah kering giling, atau mengalami peningkatan sebesar 1,5 juta ton (2,93 persen) dibanding produksi pada 2003. Hal yang sama juga terjadi pada 2009. Seminggu sebelum pilpres dihelat pada 8 Juli, BPS mengumumkan bahwa produksi padi nasional pada 2009 diperkirakan mencapai 62,56 juta ton, atau naik sebesar 2,24 juta ton (3,71 persen) dibanding produksi pada 2008. Bagi sebagian kalangan, terutama yang selama ini meragukan akurasi data produksi padi/beras nasional, hal ini bukan sekadar kebetulan. Pola kenaikan tersebut dit

Kemiskinan Kronis

Dimuat di Koran Tempo, 26 September 2015                Statistik kemiskinan yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada 15 September lalu memberi konfirmasi bahwa kenaikan harga BBM pada akhir 2014 dan perlambatan ekonomi pada awal tahun ini berdampak signifikan terhadap peningkatan kemiskinan. Kombinasi keduanya sangat telak memukul daya beli masyarakat kecil akibat kenaikan harga-harga bahan kebutuhan pokok dan berkurangnya kesempatan kerja. BPS melaporkan bahwa jumlah penduduk miskin pada Maret 2015 mencapai 28,59 juta orang atau bertambah sebanyak 0,86 juta orang dibanding September 2014. Tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan juga mengalami peningkatan. BPS mencatat, indeks kedalaman kemiskinan (poverty gap index) pada Maret 2015 mencapai 1,97 atau meningkat dibanding September 2014 yang sebesar 1,75. Sementara itu, indeks keparahan kemiskinan (poverty severity index) juga naik dari 0,44 pada September 2014 menjadi 0,54 pada Maret 2015. Hal tersebut menunjukkan bahw