Awal
bulan ini (2 September),
Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis angka sementara hasil Sensus
Pertanian yang dilaksanakan sepanjang Mei 2013 (ST2013). Hasil sensus, yang
menghabiskan total anggaran sekitar 1,59 triliun ini, mencatat populasi rumah
tangga usaha pertanian di Indonesia mencapai 26,13 juta rumah tangga atau mengalami penurunan sebanyak
5,04 juta rumah tangga (1,75
persen) bila dibandingkan dengan hasil Sensus Pertanian pada
2003.
Penting untuk dipahami,
definisi rumah tangga usaha pertanian adalah rumah tangga dengan minimal salah
satu anggotanya berusaha di sektor pertanian yang mencakup subsektor
tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, perikanan, dan kehutanan.
Mudah diduga, fraksi terbesar (sekitar 70-75 persen)
dari 26,13 juta rumah tangga usaha pertanian yang tercatat pada ST2013 berusaha
di subsektor tanaman pangan, atau mengusahakan tanaman padi dan palawija. Di
subsektor ini, motif usaha yang dijalankan tak harus
sepenuhnya untuk keuntungan finansial, tapi boleh jadi hanya ditujukan untuk
pemenuhan pengan keluarga (subsisten).
Swasembada daging
Hasil
ST2013 juga mencatat, populasi sapi dan kerbau pada 1 Mei 2013 mencapai 14,2 juta ekor atau mengalami penurunan yang
cukup tajam bila dibandingkan
dengan hasil Pendataan Sapi Potong, Sapi Perah, dan Kerbau (sensus ternak) yang dilaksanakan BPS
pada Juni 2011.
Diketahui,
populasi sapi dan kerbau hasil sensus ternak mencapai 16,7 juta ekor. Itu
artinya, penurunan populasi pada
tahun ini mencapai 2,5 juta ekor
atau sekitar 15 persen bila dibandingkan dengan kondisi pada 2011. Mudah
diduga, penyumbang terbesar penurunan ini adalah menyusutnya populasi sapi
potong. Konsekuensinya, swasembada daging pada 2014 nampaknya bakal sulit direngkuh.
Ditengarai,
penyebab utama penurunan populasi sapi potong adalah maraknya pemotongan sapi dalam beberapa
tahun terakhir—sebagai
dampak naiknya harga di pasaran—tanpa
diimbangai dengan
upaya pemerintah
meningkatkan
populasi sapi potong di dalam negeri secara berkelanjutan.
Celakanya,
ditengarai pula, tak sedikit dari sapi yang dijagal itu adalah sapi betina
produktif yang keberadaannya justru amat penting untuk menggenjot populasi. Hal
ini mestinya dapat dicegah melalui monitoring yang ketat dengan memanfaatkan data hasil sensus ternak.
Diketahui, sekitar 68
persen dari populasi sapi potong adalah sapi betina.
Data mengenai seberannya pun telah tersedia secara terperinci,
bahkan lengkap dengan nama peternak dan alamatnya (by name, by address).
Untuk mencegah
pemotongan sapi betina produktif secara masif, Undang-Undang
No.18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan yang
mengatur mengenai larangan
pemotongan sapi betina produktif serta sanksi hukumnya mestinya
juga ditegakkan, jangan
hanya garang di atas kertas.
Terlepas dari kian
beratnya tantangan pemerintah dalam mewujudkan swasembada daging, data
populasi ternak hasil ST2013 merupakan pijakan penting bagi perumusan dan evaluasi
kebijakan pemerintah ke depan, bukan hanya menyangkut upaya pengamanan pencapaian
target swasembada daging, tapi juga penetapan kuota impor.
Basis data terbaru yang
memuat nama seluruh peternak di Indonesia by name, by address telah tersedia. Pemerintah tinggal
memutakhirkannya secara berkala. Ini dapat dilakukan, misalnya,
di awal tahun. Dengan demikian, monitoring terhadap perubahan populasi dapat
dilakukan secara berkelanjutan untuk mengawal pencapaian target swasembada.
Begitupula dengan stok atau ketersediaan daging
sapi di dalam
negeri dapat diperkirakan secara akurat sebagai dasar penentuan kuota impor.
Kian
ditinggalkan
Meskipun
struktur ekonomi nasional kian
mengarah pada dominasi sektor industri dan jasa, hasil ST2013 mengkonfirmasi,
sektor pertanian harus
tetap mendapat atensi khusus dalam agenda pembangunan yang
dilaksanakan pemerintah di masa mendatang.
Gambaran
yang dipotret melalui ST2013 menunjukkan, peran penting sektor pertanian tak
hanya menyangkut posisinya sebagai penyedia atau benteng ketahanan pangan, tapi
juga menyangkut fakta bahwa ternyata masih banyak penduduk negeri ini yang
kehidupannya secara struktural bergantung dari sektor pertanian.
Bayangkan,
bila diasumsikan setiap rumah tangga terdiri dari empat orang, itu artinya ada
sekitar 105 juta penduduk negeri ini yang sumber penghidupannya dari sektor
pertanian. Itupun dengan catatan, angka 26,13 juta rumah tangga pertanian hasil ST2013
sebetulnya belum sepenuhnya mencakup rumah tangga pekerja bebas di sektor pertanian (buruh).
Sebagaimana
diketahui, pembangunan pertanian
selama
ini lebih dititikberatkan pada peningkatan produksi pangan. Dana triliunan rupiah telah digelontorkan pemerintah
melalui berbagai program
untuk menggenjot produksi. Namun,
kondisi kesejahteraan penduduk di sektor pertanian tak banyak berubah. Sektor
ini tetap menjadi lumbung kemiskinan.
Nampaknya, salah satu sebabnya adalah orientasi
pembangunan pertanian yang mengesampingkan fakta bahwa sektor pertanian bukan
hanya penghasil pangan, tapi juga sektor yang secara struktural menjadi tumpuan
hidup bagi sebagian besar penduduk. Bahwa fraksi terbesar penduduk miskin negeri
ini sebetulnya “mengais nasi” di sektor pertanian. Mereka adalah para petani gurem dengan penguasaan lahan
yang sempit dan buruh
tani. Berbagai program dan insentif pemerintah (pupuk
bersubsidi, bantuan benih, dan kredit modal kerja) acap kali tak menyentuh mereka.
Pembangunan pertanian
seolah abai terhadap fakta bahwa sekitar 60 persen rumah tangga tani pengguna
lahan sebetulnya merupakan petani gurem,
dan distribusi pemilikan
lahan di sektor pertanian dari hari ke
hari, kian timpang. Bayangkan, dari sekitar 45 persen lahan yang ada hanya dimiliki oleh 11
persen rumah tangga. Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA 1960) dan UU Land Reform 1961 yang mengatur batas
atas dan batas bawah kepemilikan lahan juga tak kunjung dilaksanakan sebagaimana mestinya. Cukuplah ini menjadi bukti atas sikap abai
tersebut.
Tak heran bila profesi
petani tak lagi menarik dan kian terpinggirkan. Untuk
apa bertani bila tak bisa menopang hidup dan begitu
sulit merengkuh kesejahteraan. Untuk
apa bertani bila harga pupuk dan
benih tak lagi terjangkau, jaringan irigasi rusak, lahan kian sempit, dan
harga jual komoditas pertanian justru
membunuh hasrat untuk bertani.
Penurunan jumlah rumah
tangga usaha pertanian sekitar 5 juta rumah tangga dalam satu dasawarsa
terakhir boleh jadi merupakan peringatan serius: mutasi para pekerja di
sektor pertanian terus terjadi. Dan tentu saja ini amat merisaukan. Bisa
dibayangkan, apa jadinya bila sektor yang merupakan penghasil pangan untuk memenuhi
kebutuhan sekitar 250 juta penduduk negeri ini kian
ditinggalkan oleh para pekerjanya?
(*)
Penulis adalah Instruktur Nasional Sensus
Pertanian 2013 dan bekerja di BPS.
Tulisan ini pendapat pribadi.
Komentar
Posting Komentar