Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2017

Persoalan Urbanisasi

Dimuat di Koran Tempo, 15 Agustus 2013 Saat arus balik Lebaran, urbanisasi kerap menjadi momok bagi Jakarta, yang tak kuat lagi menampung tambahan penduduk (overpopulated). Jakarta, yang merupakan episentrum kemajuan pembangunan negeri ini, selalu diserbu para pendatang baru yang kepincut oleh gemerlap Ibu Kota. Labor Institute Indonesia memperkirakan jumlah pencari kerja yang menyerbu Jakarta pasca-Lebaran tahun ini bakal mencapai 1 juta orang (Koran Tempo, 12 Agustus 2013). Celakanya, sebagian besar dari mereka adalah tenaga kerja tanpa keahlian (unskilled worker). Biasanya, para pendatang baru ini datang ke Jakarta karena ajakan atau pengaruh cerita "sukses" yang dikisahkan oleh kawan/kerabat saat mudik—yang lebih dulu mengadu nasib di Ibu Kota. Dalam literatur kependudukan, fenomena seperti ini disebut migrasi berantai (chain migration). Sayangnya, selama ini sebagian besar pelaku urbanisasi (migrasi berantai) yang menyerbu Jakarta saat arus balik Lebaran seja

Menggenjot Pendapatan Petani

Dimuat di Koran Kompas, 08 Agustus 2014  BEBAN sektor pertanian kian berat. Sektor ini tidak hanya menanggung surplus tenaga kerja, tetapi juga kemiskinan. Badan Pusat Statistik mencatat, jumlah angkatan kerja nasional pada Februari 2014 mencapai 125,3 juta orang. Dari jumlah ini, 40,8 juta orang terserap di sektor pertanian. Meski harus menanggung surplus tenaga kerja, sektor pertanian terperangkap dalam jebakan pertumbuhan rendah selama dasawarsa terakhir. Sejak 2004, sektor ini tak pernah tumbuh di atas 4 persen kecuali pada 2008 tumbuh 4,8 persen. Alhasil, tingkat kesejahteraan sebagian besar petani tak kunjung meningkat signifikan. Hal ini tecermin, antara lain, dari tren pergerakan indeks nilai tukar petani—indikator yang selama ini dianggap merefleksikan kesejahteraan petani—yang cenderung melandai dalam beberapa tahun terakhir. Potret buram kesejahteraan petani juga tersaji pada hasil Survei Pendapatan Rumah Tangga Usaha Pertanian 2013 (SPP 2013) yang dirilis Badan

Bumbu Statistik dalam Debat Capres

Dimuat di Koran Tempo, 30 Juni 2014 Penguasaan data statistik dan kemampuan menerjemahkannya dengan benar merupakan petunjuk bahwa seseorang menguasai permasalahan dengan baik. Itulah sebab dalam debat calon presiden (capres) atau calon perdana menteri di negara-negara maju, kemampuan kandidat dalam membedah masalah dengan data sangat menentukan performanya di mata publik. Hal ini, misalnya, terlihat dalam debat antara John F. Kennedy dan Richard Nixon pada 26 September 1960. Dalam debat perdana yang menurut sejumlah kalangan merupakan faktor krusial penyebab kekalahan Nixon itu, Kennedy menunjukkan kemampuannya dalam membedah dan menyodorkan solusi atas berbagai persoalan sosial-ekonomi yang tengah dihadapi Amerika Serikat dengan dukungan penguasaan data statistik yang baik. Walhasil, Kennedy, yang semula tidak dijagokan, berhasil mengungguli Nixon (Tangguh dengan Statistik, 2013). Sayangnya, dalam debat capres yang sudah dihelat sebanyak tiga kali antara Prabowo dan Jokowi, ki

BBM dan Kemiskinan

Dimuat di Koran Tempo, 28 Agustus 2014 Di tengah membubungnya harapan terhadap pemerintahan mendatang, duet Jokowi-JK tampaknya bakal dihadapkan pada tantangan yang tak mudah di masa awal periode pemerintahan mereka. Salah satunya, soal seretnya ruang fiskal pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2015 akibat tekanan subsidi BBM. Konsekuensinya, ambisi menggenjot pertumbuhan ekonomi hingga 7 persen akan sulit diwujudkan. Begitu pula dengan program-program unggulan yang telah dijanjikan saat kampanye, kemungkinan besar tak sepenuhnya bisa direalisasi pada 2015. Seperti diketahui, APBN 2015 didasari asumsi bahwa harga BBM tidak mengalami penyesuaian. Akibatnya, subsidi BBM, yang pada tahun ini telah mencapai Rp 246,5 triliun, bakal melonjak hingga Rp 291,1 triliun pada 2015. Pendek kata, mau tidak mau, kenaikan harga BBM menjadi pilihan yang harus diambil oleh pemerintah Jokowi-JK. Repotnya, kebijakan menaikkan harga BBM amat tidak populer dan kerap menuai penolakan d

Dilema Pendatang Baru

Dimuat di Koran Tempo, 08 Agustus 2014 Selepas Lebaran, Jakarta selalu dibanjiri pendatang baru yang kepincut gemerlap Ibu Kota. Tahun ini, jumlah warga baru yang datang ke Jakarta bersama arus balik Lebaran diperhitungkan bakal mencapai 68 ribu orang. Sebanyak 60 persen di antaranya diyakini akan menetap secara resmi (Koran Tempo, 4 Agustus). Ibarat buah simalakama, arus pendatang baru tersebut selalu memunculkan dilema. Di satu sisi, migrasi ke Jakarta-karena dorongan ekonomi-untuk merengkuh kehidupan yang lebih baik merupakan hak setiap orang, yang tentu saja tak boleh dihambat. Di sisi lain, kehadiran para pendatang baru tersebut justru menambah runyam berbagai persoalan sosial di Ibu Kota, seperti meningkatnya kemiskinan kota, kriminalitas, dan kekumuhan. Faktanya, para pendatang baru yang mengadu nasib ke Jakarta bersamaan dengan arus balik Lebaran umumnya berpendidikan rendah dan minim keahlian. Dengan kata lain, mereka sejatinya tidak diinginkan oleh pasar tenaga kerja d

Pembangunan Manusia dan Subsidi BBM

Dimuat di Koran Tempo, 04 Agustus 2014 Laporan pembangunan manusia 2014 yang dirilis Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) pada 25 Juli memberi konfirmasi bahwa pembangunan manusia Indonesia, yang diukur dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM), memperlihatkan kecenderungan perlambatan pertumbuhan. Dalam laporan itu disebutkan, IPM Indonesia pada 2013 sebesar 0,684, atau sedikit mengalami kenaikan bila dibanding IPM pada 2012 yang sebesar 0,681. Meski naik, peringkat IPM Indonesia tetap bertengger di urutan ke-108 dari 287 negara. Konsekuensinya, Indonesia belum beranjak dari kelompok menengah dalam soal capaian pembangunan manusia. Akselerasi pembangunan manusia Indonesia juga sedikit lambat. Sepanjang 2000-2013, pertumbuhan IPM Indonesia rata-rata hanya sebesar 0,9 persen per tahun. Akselerasi yang lambat juga tecermin dari perubahan peringkat IPM Indonesia yang hanya naik empat peringkat sepanjang 2008-2013. Karena itu, menggenjot peningkatan kualitas pembangun

BBM, Inflasi, dan Kompensasi

Dimuat di Koran Tempo, 08 September 2014 Setelah gagal “membujuk” Presiden SBY untuk menaikkan harga bahan bakar minyak dalam pertemuan di Nusa Dua tempo hari, Jokowi harus siap untuk tidak populer pada masa awal periode pemerintahannya dengan menaikkan harga BBM. Seperti diketahui, dampak yang tak bisa dielakkan dari kebijakan menaikkan harga BBM adalah lonjakan inflasi, yang biasanya bakal berujung peningkatan jumlah penduduk miskin. Karena itu, penentuan besaran kenaikan harga BBM harus memperhatikan dampaknya terhadap inflasi, begitu pula kompensasi yang bakal diterima masyarakat yang terkena dampak. Ihwal harga BBM, pemerintah Jokowi-JK sebetulnya punya momentum untuk menaikkannya-dengan dampak inflasi yang tidak signifikan-pada tahun ini. Dengan catatan, kenaikan tersebut tidak lebih dari 10 persen. Hasil penghitungan memperlihatkan, jika harga BBM naik sebesar Rp 1.000 per liter, dampak inflasi yang terjadi hanya 0,38 persen. Jadi, kenaikan harga BBM sebesar Rp 2.00

Komitmen Pembangunan Manusia

Dimuat di Koran Tempo, 29 Oktober 2014 Meski sekadar perubahan nomenklatur, penggantian nama Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat menjadi Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) menunjukkan bahwa pemerintah Jokowi-JK punya komitmen yang kuat untuk menyelesaikan salah satu persoalan krusial di negeri ini: kualitas pembangunan manusia yang rendah. Komitmen ini menjadi penting. Pasalnya, hanya dengan bermodalkan manusia Indonesia yang berkualitas, visi Indonesia Hebat dapat diwujudkan. Secara faktual, berdasarkan laporan United Nations Development Programme (UNDP), kualitas pembangunan manusia Indonesia yang diukur melalui Indeks Pembangunan Manusia (IPM) berada di urutan ke-108 dari 287 negara dengan skor IPM 0,684 pada 2013. Di kawasan ASEAN, skor IPM Indonesia masih berada di belakang Singapura (0,901), Brunei Darussalam (0,852), Malaysia (0,773), dan Thailand (0,722) (Laporan Pembangunan Manusia 2014). Laporan UNDP ju

Kartu Sakti dan Akurasi Data

Dimuat di Koran Tempo, 12 November 2014 Pemerintah Jokowi-JK baru saja meluncurkan tiga program jaminan sosial yang direncanakan bakal menyasar 15,5 juta rumah tangga kurang mampu atau 25 persen penduduk Indonesia yang secara ekonomi berada di strata paling bawah. Ketiga program tersebut adalah Program Simpanan Keluarga Sejahtera (PSKS), Program Indonesia Pintar (PIP), dan Program Indonesia Sehat (PIS). Dalam prakteknya, penyaluran program menggunakan empat “kartu sakti”, yakni Kartu Keluarga Sejahtera sebagai penanda keluarga kurang mampu; kartu HP (SIM card), yang berisi uang elektronik yang digunakan untuk mengakses Simpanan Keluarga Sejahtera; serta Kartu Indonesia Pintar dan Kartu Indonesia Sehat yang merupakan penanda penerima manfaat PIP dan PIS. Dari ketiga program jaminan sosial yang baru diluncurkan tersebut, PSKS-bantuan langsung non-tunai yang diberikan dalam bentuk rekening simpanan melalui layanan keuangan digital-merupakan terobosan baru. Selain mempermu

Kesejahteraan Nelayan

Dimuat di Koran Tempo, 19 November 2014 Indonesia memiliki catatan sejarah gemilang sebagai negara maritim di masa lampau. Sayang, kebijakan pembangunan selama ini bias ke darat. Walhasil, laut yang menurut Bung Karno sejatinya merupakan sumber kekuatan dan kemakmuran bagi negeri ini malah terabaikan. Kabar baiknya, pemerintah Jokowi-JK punya agenda besar untuk mengembalikan kejayaan Indonesia sebagai negara maritim. Hal itu termanivestasi melalui visi menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Pada Konferensi Tingkat Tinggi Negara-negara Asia Timur di Myanmar, Kamis pekan lalu, Jokowi menyatakan salah satu pilar utama yang diagendakan-dalam pembangunan lima tahun mendatang-untuk mengaktualisasi visi besar tersebut adalah Indonesia akan menjaga dan mengelola sumber daya laut dengan fokus membangun kedaulatan pangan melalui pengembangan industri perikanan. Hal itu bakal diwujudkan dengan menempatkan nelayan sebagai pilar utama ( Tempo.co, 13 November ). Bila terlak

Kesejahteraan Petani 2014

Dimuat di Koran Tempo, 5 Januari 2015 Pada 2 Januari 2015, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa nilai tukar petani (NTP) nasional-indikator yang digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan petani dan nelayan-pada Desember 2014 hanya sebesar 101,32. Padahal target NTP yang dipatok pemerintah selama ini minimal sebesar 110. Itu artinya, tingkat kesejahteraan petani dan nelayan negeri ini masih jauh dari harapan. NTP yang dirilis BPS tersebut juga memberi konfirmasi bahwa tingkat kesejahteraan petani dan nelayan negeri ini cenderung stagnan sepanjang 2014. Soalnya, NTP Desember 2014 lebih rendah daripada NTP Januari 2014 yang sebesar 101,95. Jadi, tidak membikin heran bila kemiskinan tetap berpusat di pedesaan, dan sebagian besar petani serta nelayan negeri ini masih terkungkung dalam kondisi hidup serba kekurangan alias miskin. Gambaran yang lebih membuat miris tersaji pada subsektor tanaman pangan (padi dan palawija). Betapa tidak, nilai tukar petani tanaman pangan pad

Merdeka dari Impor Pangan

Dimuat di Koran Tempo, 20 Agustus 2014 Tahun ini, Badan Urusan Logistik (Bulog) berencana mengimpor beras sebesar 500 ribu ton untuk memperkuat cadangan beras nasional. Dari rencana impor sebanyak itu, yang sudah direalisasi sekitar 50 ribu ton (Antara, 8 Agustus). Di tengah ingar-bingar perayaan hari kemerdekaan nasional, impor beras tersebut kembali mempertegas satu hal: Indonesia belum merdeka dari jebakan impor pangan. Padahal, negeri yang luas daratannya mencapai 188 juta hektare ini telah diberkahi Tuhan dengan kesuburan tanah yang melegenda. Bukankah di negeri yang subur ini, "tongkat kayu bisa jadi tanaman"? Ironisnya, bukan hanya beras yang kita impor. Data statistik menunjukkan, nyaris semua komoditas pangan strategis negeri ini harus dicukupi dari impor. Selamadasawarsa terakhir, tujuh komoditas pangan utama yang mencakup gula, kedelai, jagung, beras, bawang merah, daging sapi, dan cabai harus dicukupi dari impor. Seolah tak bisa direm, tren impor pangan juga ter

Ironi Sebatang Cokelat

Dimuat di Koran Tempo, 21 Agustus 2015 Kalau kita perhatikan statistik konsumsi cokelat dunia pada 2015, kita bakal menemukan fakta bahwa 10 negara konsumen cokelat terbesar sejagat adalah negara-negara maju: Amerika Serikat dan negeri di Eropa Barat. Untuk tiga pemakan cokelat terbesar sejagat, di urutan pertama ada Swiss dengan konsumsi per kapita penduduknya mencapai 9 kilogram per tahun. Di bawahnya ada Jerman dan Irlandia dengan konsumsi per kapita masing-masing 7,9 kilogram dan 7,4 kilogram per tahun (Koran Tempo, 14 Agustus). Menariknya, tak satu pun dari 10 negara konsumen cokelat terbesar dunia itu merupakan penghasil biji kakao, bahan utama pembuatan cokelat. Lalu, bagaimana dengan konsumsi cokelat di negara-negara penghasil utama kakao dunia? Untuk diketahui, lebih dari 90 persen kakao dunia dihasilkan oleh negara-negara berkembang atau dunia ketiga di kawasan Afrika, Asia, dan Amerika Latin. Saat ini, tiga negara penghasil utama biji kakao dunia adalah Pantai Gad