Langsung ke konten utama

Akurasi Data Surplus Beras


Badan Pusat Statistik (BPS) baru saja merilis statistik produksi padi nasional pada awal bulan ini (1 November). BPS melaporkan, produksi padi tahun ini diperkirakan mencapai 70,87 juta ton gabah kering giling (GKG). Bila dibandingkan dengan capaian produksi pada tahun lalu, angka ini menunjukkan terjadi kenaikan porduksi padi sebesar 1,81 juta ton (2,62 persen).

Penting untuk diperhatikan, angka perkiraan produksi padi yang dirilis BPS ini disebut Angka Ramalan II (Aram II), yang merupakan hasil penjumlahan realisasi produksi caturwulan I dan II dengan ramalan produksi caturwulan III. Angka produksi caturwulan I dan II merupakan angka final yang menunjukkan capaian produksi sepanjang Januari hingga Agustus tahun ini, sementara angka produksi caturwulan III merupakan angka perkiraan produksi sepanjang September hingga Desember yang masih bisa berubah hingga angka final atau angka tetap (Atap) produksi padi tahun ini dirilis BPS pada Juli tahun depan.

Kendati masih berupa perkiraan, Aram II, sebetulnya sudah cukup untuk menggambarkan capaian produksi sepanjang tahun ini. Pasalnya, dalam sepuluh tahun terakhir, rata-rata deviasi atau penyimpangan Aram II terhadap Atap hanya 0,43 persen. Selain itu, sekitar 78 persen produksi padi dalam setahun dihasilkan sepanjang Januari hingga Agustus.

Meski terjadi kenaikan yang cukup signifikan, capaian produksi padi tahun ini sebetulnya masih jauh dari target yang dipatok pemerintah, yakni sebesar 72,06 juta ton atau setara dengan 40,51 juta ton beras. Dengan angka produksi sebesar ini, surplus beras nasional diperkirakan bakal mencapai 7,49 juta ton (Kementan, 2013).

Ihwal pencapaian target surplus 10 juta ton beras tahun depan, Aram II nampaknya kian mempertegas kerisauan banyak kalangan: target ambisius pemerintah ini terancam urung tercapai. Swasembada beras—yang diindikasikan dengan tak adanya importasi beras dari luar negeri seperti yang diperkirakan terjadi tahun ini—memang berpeluang besar bakal direngkuh. Namun, surplus produksi sebesar 10 juta ton sepertinya terlalu berat (baca: mustahil) untuk dicapai.

Seandainya target produksi tahun ini berhasil dicapai, pemerintah tinggal meningkatkan produksi sebesar 4,5 juta ton (6,25 persen) tahun depan. Dengan demikian, produksi padi nasional pada 2014 bisa mencapai 76,57 juta ton atau setara dengan 43,05 juta ton beras. Dan, surplus 10 juta ton beras bakal tercapai.
Sayangnya, skenario indah ini nampaknya bakal urung terwujud. Betapa tidak, dengan capaian produksi tahun ini yang hanya sebesar 70,87 juta ton, beban pemerintah menjadi kian berat. Konsekuensinya, tahun depan, peningkatan produksi harus digenjot hingga mencapai 5,7 juta ton (8,04 persen). Tentu saja ini sangat berat. Statistik menunjukkan, kenaikan produksi padi dalam setahun tak pernah menyentuh angka sebesar itu.

Bukannya pesimis. Faktanya, untuk menggenjot peningkatan produksi sebesar 5 persen saja pemerintah sudah ngos-ngosan. Hal ini tercermin dari peningkatan produksi tahun ini yang hanya sebesar 2,62 persen. Padahal, target peningkatan produksi dipatok sebesar 4,36 persen.

Akurasi data
Perhitungan surplus beras amat bergantung pada akurasi data yang digunakan. Seperti diketahui, surplus beras diperoleh dari hasil pengurangan produksi beras dengan kebutuhan beras nasional. Karena itu, perhitungan surplus juga harus dielaborasi  dari sisi konsumsi, bukan hanya dari sisi produksi.
Selama ini, perhitungan surplus yang dilakukan pemerintah menggunakan angka konsumsi beras sebesar 139,15 kilogram per kapita per tahun yang diasumsikan terus menurun secara konsisten sebesar 1,5 persen per tahun sejak tahun 2010.

Surplus beras untuk tahun ini diperkirakan sekitar 6,8 juta ton. Hitung-hitungan ini didasarkan pada asumsi: angka konsumsi beras per kapita sebesar 132,98 kilogram per tahun dan kebutuhan beras nasional untuk 248,33 juta penduduk mencapai 33,02 juta ton.

Sebetulnya, pada tahun 2012, angka konsumsi beras per kapita terbaru telah dihasilkan oleh BPS. Angkanya jauh lebih rendah dari yang selama ini digunakan pemerintah, yakni sekitar 114 kilogram per kapita per tahun. Meski belum dirilis sebagai statistik resmi (official statistics), angka terbaru ini telah banyak digunakan oleh berbagai kalangan dan dianggap lebih akurat karena dihasilkan melalui survei khusus yang juga menangkap konsumsi beras di luar rumah (warung, hotel, dan restoran) yang dilakukan oleh rumah tangga dan penggunaan beras oleh industri pengolahan makanan.

Anehnya, bila menggunakan angka konsumsi beras per kapita sebesar 114 kilogram per tahun, surplus beras tahun ini berdasarkan Aram II ternyata sudah lebih dari 10 juta ton. Itu artinya, pemerintah sebetulnya tak perlu risau bahwa terget surplus 10 juta ton beras pada 2014 bakal gagal tercapai. Toh, pada tahun ini pun, surplus beras sudah lebih dari 10 juta ton.

Keanehan ini sebetulnya mengkonfirmasi bahwa data produksi padi yang ada selama ini overestimate alias “ketinggian”. Penyebabnya adalah perhitungan luas panen yang tak didasarkan pada objective measurement atau survei statistik. Diketahui, selama ini produksi padi dihitung dengan mengalikan produktivitas (produksi per hektar) dengan luas panen.

Dalam prakteknya, produktivitas dihitung oleh BPS berdasarkan hasil survei statistik yang dilakukan oleh petugas BPS dan petugas Dinas Pertanian (mantri pertanian), sementara penghitungan luas panen dilakukan oleh mantri pertanian melalui cara-cara konvensional, seperti perkiraan berdasarkan penggunaan air dan pupuk, informasi dari aparat desa, serta metode pandangan mata (eye estimate) yang ditengarai merupakan kontributor utama terjadinya overestimate pada perhitungan luas panen.

Overestimate pada data luas panen sebetulnya sudah lama disadari, hasil survei yang dilaksanakan BPS pada 1996 hingga1997, misalnya, menunjukkan bahwa  perhitungan luas panen oleh mantri pertanian di Pulau Jawa mengalami overestimate sekitar 17 persen. Karena itu, perbaikan akurasi data produksi padi sudah semestinya segera dilakukan oleh pemerintah. Di tengah kemajuan teknologi dewasa ini, sudah saatnya data luas panen dikumpulkan melalui objective measurement. Misalnya, melalui pemanfaatn teknologi penginderaan jauh (remote sensing). Dengan demikian, surplus yang terjadi bukan hanya sekedar angka-angka di atas kertas. (*)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Produksi Padi dan Pemilihan Presiden

Dimuat di Koran Tempo, 04 Juli 2014 Ada pola yang menarik bila kita mengulik tren data produksi padi nasional selama beberapa tahun terakhir. Kenaikan produksi ternyata selalu terjadi pada tahun-tahun saat pemilihan presiden dihelat. Sebagai contoh, pada 1 Juli 2004, tiga hari menjelang pilpres putaran pertama, Badan Pusat Statistik merilis angka ramalan produksi padi nasional yang menyebutkan bahwa produksi padi pada 2004 diperkirakan mencapai 53,67 juta ton gabah kering giling, atau mengalami peningkatan sebesar 1,5 juta ton (2,93 persen) dibanding produksi pada 2003. Hal yang sama juga terjadi pada 2009. Seminggu sebelum pilpres dihelat pada 8 Juli, BPS mengumumkan bahwa produksi padi nasional pada 2009 diperkirakan mencapai 62,56 juta ton, atau naik sebesar 2,24 juta ton (3,71 persen) dibanding produksi pada 2008. Bagi sebagian kalangan, terutama yang selama ini meragukan akurasi data produksi padi/beras nasional, hal ini bukan sekadar kebetulan. Pola kenaikan tersebut dit

Subsidi untuk Keluarga Miskin

Dimuat di Koran Tempo, 21 Juli 2014 Profil kemiskinan yang dirilis Badan Pusat Statistik pada awal bulan ini (1 Juli) menyebutkan, jumlah penduduk miskin pada Maret 2014 mencapai 28,28 juta orang (11,25 persen), atau hanya berkurang 0,32 juta orang dibanding kondisi pada September 2013. Profil kemiskinan ini memberi konfirmasi mengenai dua hal. Pertama, dampak kenaikan harga bahan bakar minyak pada akhir Juni tahun lalu terhadap kehidupan masyarakat kecil cukup dalam. Ternyata, tidak sedikit dari mereka yang terjerembap ke jurang kemiskinan selepas kenaikan harga BBM dan hingga kini tetap miskin. Kedua, laju penurunan jumlah penduduk miskin terus melambat, bahkan boleh dibilang telah menyentuh titik jenuh. Hal ini menunjukkan kondisi kemiskinan yang terjadi sudah kronis (chronic poverty) serta cenderung persisten dan sulit diatasi. Mereka yang tengah bergelut dalam kemiskinan saat ini adalah penduduk dengan tingkat kapabilitas (pendidikan dan kesehatan) yang sangat rendah, tin

Tingkat Kemakmuran Indonesia Lompat 21 Peringkat

Koran Tempo, 5 Maret 2016 Kemakmuran ternyata bukan melulu soal seberapa banyak materi atau kekayaan yang dikumpulkan suatu negara. Kekayaan memang merupakan salah satu faktor penentu utama kemakmuran, tapi bukan segalanya. Dimensi kemakmuran lebih luas dari sekadar akumulasi kekayaan materi. Ia juga mencakup dimensi non-materi, seperti kegembiraan hidup dan prospek untuk membangun hidup yang lebih baik di masa mendatang. Legatum Institute, sebuah lembaga think-tank yang berkedudukan di London, mencoba membangun sebuah indikator yang diupayakan mampu mengukur sebaik mungkin kemakmuran suatu negara secara multi-dimensi. Indikator tersebut tidak hanya didasarkan pada pendapatan, tapi juga sejumlah dimensi kualitatif yang merepresentasikan kesejahteraan (well-being). Indikator yang dikembangkan tersebut dikenal sebagai Legatum Prosperity Index yang diluncurkan setiap tahun sejak 2009. Indeks tersebut merupakan indeks komposit yang mencakup 89 variabel, dari variabel klasik se