Kemiskinan Kronis

Dimuat di Koran Tempo, 26 September 2015               

Statistik kemiskinan yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada 15 September lalu memberi konfirmasi bahwa kenaikan harga BBM pada akhir 2014 dan perlambatan ekonomi pada awal tahun ini berdampak signifikan terhadap peningkatan kemiskinan.

Kombinasi keduanya sangat telak memukul daya beli masyarakat kecil akibat kenaikan harga-harga bahan kebutuhan pokok dan berkurangnya kesempatan kerja. BPS melaporkan bahwa jumlah penduduk miskin pada Maret 2015 mencapai 28,59 juta orang atau bertambah sebanyak 0,86 juta orang dibanding September 2014.

Tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan juga mengalami peningkatan. BPS mencatat, indeks kedalaman kemiskinan (poverty gap index) pada Maret 2015 mencapai 1,97 atau meningkat dibanding September 2014 yang sebesar 1,75. Sementara itu, indeks keparahan kemiskinan (poverty severity index) juga naik dari 0,44 pada September 2014 menjadi 0,54 pada Maret 2015. Hal tersebut menunjukkan bahwa kehidupan ekonomi masyarakat miskin bertambah buruk. Mereka kian terpuruk dalam kemiskinan.

Mudah diduga, mereka yang jatuh miskin pada September 2014-Maret 2015 merupakan penduduk hampir miskin (near poor). Diketahui, salah satu ciri utama kemiskinan di Indonesia adalah tingginya persentase penduduk hampir miskin. Mereka tidak berkategori miskin, tapi sangat rentan jatuh miskin akibat kondisi ekonomi yang memburuk dan kebijakan tidak populis seperti kenaikan harga BBM.

Kondisi kemiskinan yang mereka alami sebetulnya bersifat sementara (transient poverty). Bila pemerintah mampu mendorong pertumbuhan ekonomi, misalnya, mayoritas mereka akan kembali keluar dari kemiskinan sehingga berujung pada penurunan jumlah penduduk miskin.

Namun patut dicatat bahwa hal tersebut tak bakal berdampak signifikan dan berkelanjutan terhadap penurunan kemiskinan. Pasalnya, sebagian besar penduduk miskin yang ada saat ini merupakan penduduk miskin kronis. Mereka akan tetap bergumul dalam kemiskinan meskipun kondisi ekonomi membaik, karena pada dasarnya partisipasi mereka dalam pembangunan ekonomi sangat nihil. Mereka tersisihkan dan nyaris tak menikmati kue pertumbuhan ekonomi yang ada.

Faktanya, sepanjang 2012-2014, jumlah penduduk miskin persisten pada angka 28-29 juta orang atau mencakup 10-11 persen dari jumlah total populasi. Padahal, pada saat yang sama, pertumbuhan ekonomi nasional rata-rata sebesar 5,3 persen per tahun. Anggaran untuk program penanggulangan kemiskinan juga naik sangat signifikan, nyaris dua kali lipat.

Pengentasan kemiskinan kronis membutuhkan upaya khusus. Akar persoalan kemiskinan kronis adalah tingkat kapabilitas (derajat pendidikan dan kesehatan) yang rendah. Kondisi tersebut menyebabkan penduduk miskin kronis kurang percaya diri dan kalah bersaing. Mereka sendiri tidak yakin bahwa kondisi serba kekurangan yang dialami bakal berubah. Bahkan tidak jarang mereka menganggap bahwa kemiskinan yang dialami sudah takdir dan harus disyukuri (Razali Ritonga, 2012).

Karena itu, upaya tersebut harus difokuskan pada strategi memutus rantai kemiskinan dengan cara meningkatkan kapabilitas dasar penduduk miskin, terutama di daerah pedesaan, melalui program jaminan sosial yang efektif, tepat sasaran, dan berkelanjutan.

Dalam hal ini, program Bolsa Familia di Brasil bisa menjadi acuan. Program yang dipuji oleh banyak institusi internasional sebagai salah satu program jaminan sosial paling efektif di dunia itu telah berhasil mengangkut 20 juta orang keluar dari kemiskinan sepanjang 2003-2009.

Bolsa Familia merupakan program conditional cash transfer (CCT) yang menyasar lebih dari 12 juta keluarga miskin. Artinya, keluarga miskin diberi bantuan uang tunai, tapi dengan syarat tertentu, yakni bersedia menyekolahkan anak-anaknya dan divaksinasi. Cara ini tidak hanya memberi pendapatan minimum kepada mereka, tapi juga mampu memutus perpindahan kemiskinan lintas generasi melalui peningkatan kapabilitas anak-anak yang terlahir dari keluarga miskin.

Sebetulnya, kita memiliki program penanggulangan kemiskinan serupa Bolsa Familia, yakni Program Keluarga Harapan (PKH). Rumah tangga sasaran PKH memperoleh bantuan uang tunai secara teratur bila mampu memenuhi sejumlah kewajiban yang disyaratkan, seperti kewajiban melakukan imunisasi lengkap (BCG, DPT, polio, campak, dan hepatitis B) terhadap anak usia 0-11 bulan jika suatu rumah tangga memiliki anak pada kelompok usia tersebut dan kewajiban mendaftarkan anak usia 7-15 tahun pada lembaga pendidikan dasar dan mengikuti kehadiran di kelas minimal 85 persen dari hari belajar efektif setiap bulan selama tahun ajaran berlangsung.

Sayang, cakupan PKH masih sangat terbatas. Hingga 2014, misalnya, PKH ditargetkan hanya menyasar 3,2 juta rumah tangga. Jumlah tersebut hanya mencakup kurang dari 20 persen jumlah total rumah tangga yang menjadi sasaran program-program penanggulangan kemiskinan pada 2014. Galibnya, bila pemerintah benar-benar memiliki komitmen yang kuat untuk menurunkan kemiskinan secara signifikan, sudah semestinya cakupan PKH diperluas.

Dampaknya memang baru akan terlihat dalam jangka panjang, minimal dalam lima tahun mendatang. Tapi, tanpa program pengentasan kemiskinan yang berfokus pada upaya memutus mata rantai kemiskinan antar-generasi, jumlah penduduk miskin bakal persisten pada angka 10 persen dan target untuk menurunkan kemiskinan hingga sebesar 5 persen pada 2019 mustahil bakal tercapai. *