Dimuat di Koran Tempo, 9 Mei 2015
World Happiness Report
2015 yang diluncurkan di New York pada 23 April lalu
menyebutkan bahwa peringkat kebahagiaan Indonesia berada pada posisi ke-74 dari
158 negara dengan skor sebesar 5,399 (Koran
Tempo, 30 April). Dibandingkan dengan laporan yang sama pada 2013, posisi
Indonesia naik dua peringkat. Pada World
Happiness Report 2013 Indonesia
berada di urutan ke-76 dari 156 negara dengan skor sebesar 5,348.
World Happiness Report 2015
merupakan laporan tahunan ketiga yang mengukur kebahagiaan negara-negara di
dunia. Variabel penilaian yang digunakan untuk pengukuran kebahagiaan meliputi
Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita, harapan hidup sehat, kebebasan dalam
membuat pilihan, kebebasan dari korupsi, dan dukungan sosial.
Di antara variabel-varibel
tersebut, kontribusi dominan terhadap skor kebahagiaan Indonesia disumbang oleh
PDB per kapita dan dukungan sosial. Soal kontribusi dominan PDB per kapita, hal
ini tidak terlepas dari kinerja perekonomian Indonesia yang saat ini menempati
posisi ke-9 terbesar di dunia dengan PDB dalam dolar paritas daya beli sebesar
US$2.399 miliar.
Sementara kontribusi
dominan variabel dukungan sosial memberi konfirmasi bahwa orang Indonesia
umumnya merasa aman ketika dihadapkan pada kesulitan karena memiliki keluarga
atau sahabat yang siap membantu kapanpun mereka membutuhkan pertolongan.
Yang menarik untuk
dicermati adalah nihilnya kontribusi variabel kebebasan dari korupsi terhadap
skor total kebahagiaan Indonesia. Hal tersebut memberi konfirmasi bahwa korupsi
yang menyebar secara masif, baik di ingkungan pemerintahan maupun bisnis, telah
mereduksi kebahagiaan penduduk Indonesia. Hal tersebut seharusnya menjadi
perhatian serius pemerintah. Komitmen terhadap pemberantasan korupsi harus
dibuktikan.
World Happiness Report pada dasarnya merupakan bentuk ketidakpuasan terhadap
indikator-indikator ekonomi, utamanya PDB per kapita dan pertumbuhan ekonomi,
dalam mengukur kesejahteraan. Pasalnya, indikator-indikator tersebut kerap bias
dan tidak sejalan dengan kesejahteraan masyarakat.
Itulah sebab, pengukuran
kebahagiaan dalam World
Happiness Report tidak hanya memperhitungkan
variabel ekonomi, yang dalam hal ini diwakili oleh PDB per kapita, tapi juga
variabel-variabel non-moneter yang juga memengaruhi kualitas hidup masyarakat.
Swiss adalah contoh
terbaik bagi Indonesia. Negara tersebut mampu menyeimbangkan pembangunan
ekonomi dan non-ekonomi, sehingga dinobatkan sebagai negara terbahagia sejagat dengan skor kebahagian sebesar
7,587.
Pengalaman Indonesia adalah
contoh terbaik untuk menunjukkan bahwa angka-angka PDB dan pertumbuhannya acap
kali memiliki korelasi yang lemah dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Selama dekade terakhir,
ekonomi Indonesia tumbuh mengesankan dengan rata-rata pada kisaran 5-6 persen
per tahun. Namun, pertumbuhan tersebut tidak dinikmati secara merata oleh
seluruh lapisan masyarakat. Hal itu tercermin dari nilai indeks gini yang telah
menyentuh 0,41. Itu artinya, ketimpangan distribusi pendapatan sudah pada taraf
yang mengkhawatirkan.
Celakanya, ketimpangan
ekonomi yang kian melebar pada dasarnya adalah bom waktu yang sewaktu-waktu
bisa meledak dalam rupa konflik sosial yang dipicu oleh rasa ketidakadilan
ekonomi dan kohesi sosial-politik yang semakin melemah. Karena itu, tantangan
pemerintah bukan hanya menggenjot pertumbuhan ekonomi, tapi juga mewujudkan
pemerataan. (*)
Komentar
Posting Komentar