Langsung ke konten utama

Di Balik Penurunan Angka Kemiskinan

Profil kemiskinan yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada 16 Juli lalu menyebutkan bahwa jumlah penduduk miskin pada Maret 2018 mencapai 25,95 juta orang atau mencakup 9,82% dari total jumlah penduduk Indonesia.
Jika dibandingkan dengan kondisi September 2017, terjadi penurunan sebesar 633,2 ribu orang atau sekitar 0,3 poin persentase. Hal ini tentu saja merupakan kabar gembira. Betapa tidak, untuk pertama kalinya tingkat kemiskinan nasional menyentuh satu digit dan terendah sejak Indonesia merdeka.
BPS mencatat, jumlah penduduk miskin pada 1976 mencapai 54,2 juta orang (40,1%). Pemerintah Orde Baru kemudian berhasil menurunkan angka kemiskinan secara konsisten hingga sebesar 11,3% pada 1996. Sayangnya, hantaman krisis ekonomi pada 1997/1998 menjadikan tingkat kemiskinan melonjak tajam.
Data BPS menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin meningkat hingga menyentuh 49,5 juta orang atau 24,2% dari total populasi pada 1998.
Pascakrisis berkat upaya penanggulangan kemiskinan yang konsisten dan berkesinambungan, tingkat kemiskinan secara umum mengalami penurunan (meski dengan laju yang lebih lambat dari periode sebelum krisis) hingga mencapai titik terendah sepanjang sejarah pada Maret 2018. Namun, di balik keberhasilan ini, ada sejumlah catatan penting yang perlu menjadi perhatian.
Disparitas Tinggi
Tingkat kemiskinan sebesar 9,82% merupakan angka rata-rata nasional yang tidak menggambarkan realitas kemiskinan yang terjadi di setiap provinsi. Faktanya, hampir 50% provinsi di Indonesia memiliki persentase penduduk miskin yang lebih tinggi dari rata-rata nasional.
Selain itu, tidak semua provinsi menunjukkan kinerja yang mengesankan ihwal penurunan kemiskinan. Tercatat, 13 provinsi malah mengalami kenaikan jumlah penduduk miskin sepanjang September 2017- Maret 2018. Sebaran kejadian kemiskinan (incidence of poverty) juga sangat timpang. 
Sebagai gambaran, sebanyak 28 dari setiap 100 penduduk Papua terkategori miskin, sementara di DKI Jakarta hanya sekitar empat dari setiap 100 penduduk hidup di bawah garis kemiskinan. Secara umum, tingkat kejadian kemiskinan tertinggi ada di Maluku dan Papua (21,2 %), sementara yang terendah ada di Pulau Kalimantan (6,1%) dan Pulau Jawa (8,9%).
Ketimpangan antar wilayah dalam capaian penanggulangan kemiskinan ini sejatinya mengonfirmasi bahwa pemerataan pembangunan masih harus terus diupayakan. Disparitas juga terjadi antara daerah perkotaan dan perdesaan. Hingga kini desa masih menjadi pusat kemiskinan.
BPS mencatat sebanyak 15,8 juta orang atau 60,9% dari total jumlah penduduk miskin pada Maret 2018 merupakan masyarakat perdesaan. Kejadian kemiskinan di perdesaan juga lebih tinggi (13,2%) dibanding perkotaan (7,02%).
Fakta ini menunjukkan bahwa kunci keberhasilan pemerintah dalam menurunkan tingkat kemiskinan secara signifikan adalah meningkatkan taraf hidup masyarakat perdesaan.
BPS mencatat, penurunan kemiskinan sepanjang September 2017-Maret 2018, yang mencapai 633,2 ribu orang, sebagian besarnya disumbang oleh penurunan di daerah perdesaan (505.000 orang). Penurunan ini merupakan dampak dari sejumlah program pemerintah yang ditujukan untuk meningkatkan perekonomian perdesaan misalnya alokasi dana desa, dan berbagai program penanggulangan kemiskinan yang menyasar penduduk miskin perdesaan.
Rentan Miskin
Meski tingkat kemiskinan telah menyentuh satu digit, yang juga patut menjadi perhatian adalah persentase penduduk yang tidak terkategori miskin dengan kondisi ekonomi yang tidak jauh berbeda dengan penduduk miskin ternyata masih cukup tinggi. Mereka sangat rentan untuk terjerumus ke dalam kemiskinan jika sewaktu-waktu terjadi gejolak ekonomi atau karena kebijakan tidak populis yang memukul daya beli masyarakat kecil seperti kenaikan harga BBM dan pencabutan subsidi listrik.
BPS mencatat sekitar 64,9 juta orang atau sekitar seperempat dari total jumlah penduduk Indonesia pada Maret 2017 termasuk rentan miskin dengan pengeluaran per kapita per bulan tidak lebih dari 1,6 kali garis kemiskinan.
Jumlah penduduk hampir miskin dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah 1,2 kali garis ke miskinan, bahkan mencakup se kitar 7,8% dari total penduduk (20,5 juta orang). Jika merujuk pada data Bank Dunia, hanya 30% penduduk Indonesia yang benar-benar aman dari kemiskinan (eco - nomically secure and middle class) pada 2015.
Selain itu, proporsi penduduk rentan miskin, yakni mereka yang memiliki pengeluaran per kapita per hari se besar USD3,1- USD5,5, mencapai sekitar 40% dari total penduduk. Patut diperhatikan, ukuran kemiskinan yang digunakan Bank Dunia adalah dolar Ame rika Serikat (AS) dalam paritas daya beli (purchasing power parity/PPP).
Karena itu, konversi ukuran tersebut ke dalam rupiah tidak bisa menggunakan nilai tukar dolar AS ter - hadap rupiah di pasar uang (exchange rates). Sebagai gambaran, garis kemiskinan Bank Dunia sebesar USD1,9 per hari setara dengan Rp9.080,8 per hari. Terlepas dari ukuran kemiskinan yang digunakan, salah satu dimensi penting dari kemiskinan di Tanah Air adalah masih tingginya jumlah pen du - duk rentan miskin.
Taraf hidup mereka masih harus ditingkatkan melalui instrumen kebijakan dan program-program pembangunan yang berpihak pada masyarakat kecil.
Faktanya, lebih dari separuh total jumlah penduduk rentan miskin merupakan masyarakat perdesaan. Karena itu, pengembangan daerah perdesaan yang menitikberatkan pada pembangunan infrastruktur perdesaan harus menjadi prioritas pemerintah. Hal ini sangat penting untuk meningkatkan produktivitas masyarakat perdesaan, khususnya di sektor pertanian yang merupakan corak utama perekonomian perdesaan.
Kita boleh bangga dengan tingkat kemiskinan yang telah menyentuh satu digit. Namun, di balik itu, masih ada sejumlah pekerjaan rumah yang mesti dibereskan, yakni disparitas tingkat kemiskinan antar wilayah yang sangat tinggi dan besarnya proporsi penduduk rentan miskin.
Selain itu, 26 juta jiwa penduduk miskin bukanlah jumlah yang sedikit. Angka ini hanya berselisih tipis dengan populasi Australia yang mencapai 24 juta jiwa. Karena itu, pemerintah jangan cepat berpuas diri. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Subsidi untuk Keluarga Miskin

Dimuat di Koran Tempo, 21 Juli 2014 Profil kemiskinan yang dirilis Badan Pusat Statistik pada awal bulan ini (1 Juli) menyebutkan, jumlah penduduk miskin pada Maret 2014 mencapai 28,28 juta orang (11,25 persen), atau hanya berkurang 0,32 juta orang dibanding kondisi pada September 2013. Profil kemiskinan ini memberi konfirmasi mengenai dua hal. Pertama, dampak kenaikan harga bahan bakar minyak pada akhir Juni tahun lalu terhadap kehidupan masyarakat kecil cukup dalam. Ternyata, tidak sedikit dari mereka yang terjerembap ke jurang kemiskinan selepas kenaikan harga BBM dan hingga kini tetap miskin. Kedua, laju penurunan jumlah penduduk miskin terus melambat, bahkan boleh dibilang telah menyentuh titik jenuh. Hal ini menunjukkan kondisi kemiskinan yang terjadi sudah kronis (chronic poverty) serta cenderung persisten dan sulit diatasi. Mereka yang tengah bergelut dalam kemiskinan saat ini adalah penduduk dengan tingkat kapabilitas (pendidikan dan kesehatan) yang sangat rendah, tin

Produksi Padi dan Pemilihan Presiden

Dimuat di Koran Tempo, 04 Juli 2014 Ada pola yang menarik bila kita mengulik tren data produksi padi nasional selama beberapa tahun terakhir. Kenaikan produksi ternyata selalu terjadi pada tahun-tahun saat pemilihan presiden dihelat. Sebagai contoh, pada 1 Juli 2004, tiga hari menjelang pilpres putaran pertama, Badan Pusat Statistik merilis angka ramalan produksi padi nasional yang menyebutkan bahwa produksi padi pada 2004 diperkirakan mencapai 53,67 juta ton gabah kering giling, atau mengalami peningkatan sebesar 1,5 juta ton (2,93 persen) dibanding produksi pada 2003. Hal yang sama juga terjadi pada 2009. Seminggu sebelum pilpres dihelat pada 8 Juli, BPS mengumumkan bahwa produksi padi nasional pada 2009 diperkirakan mencapai 62,56 juta ton, atau naik sebesar 2,24 juta ton (3,71 persen) dibanding produksi pada 2008. Bagi sebagian kalangan, terutama yang selama ini meragukan akurasi data produksi padi/beras nasional, hal ini bukan sekadar kebetulan. Pola kenaikan tersebut dit

Kemiskinan Kronis

Dimuat di Koran Tempo, 26 September 2015                Statistik kemiskinan yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada 15 September lalu memberi konfirmasi bahwa kenaikan harga BBM pada akhir 2014 dan perlambatan ekonomi pada awal tahun ini berdampak signifikan terhadap peningkatan kemiskinan. Kombinasi keduanya sangat telak memukul daya beli masyarakat kecil akibat kenaikan harga-harga bahan kebutuhan pokok dan berkurangnya kesempatan kerja. BPS melaporkan bahwa jumlah penduduk miskin pada Maret 2015 mencapai 28,59 juta orang atau bertambah sebanyak 0,86 juta orang dibanding September 2014. Tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan juga mengalami peningkatan. BPS mencatat, indeks kedalaman kemiskinan (poverty gap index) pada Maret 2015 mencapai 1,97 atau meningkat dibanding September 2014 yang sebesar 1,75. Sementara itu, indeks keparahan kemiskinan (poverty severity index) juga naik dari 0,44 pada September 2014 menjadi 0,54 pada Maret 2015. Hal tersebut menunjukkan bahw