Langsung ke konten utama

Urgensi Kementerian Kependudukan

Dimuat di Koran Tempo, 24 September 2014
Jokowi-JK mewacanakan pembentukan sebuah kementerian baru, yakni Kementerian Kependudukan. Sesuai dengan namanya, kementerian ini direncanakan bakal berfokus pada persoalan kependudukan. Bila direalisasi, hal ini dapat memberikan solusi atas salah satu permasalahan mendasar negeri ini: lemahnya kualitas data kependudukan.
Tak bisa ditampik, selama ini data kependudukan yang ada masih memiliki sejumlah kelemahan, antara lain ihwal ketepatan waktu (timelines) serta ketersediaan data individu yang lengkap dan mutakhir. Akibatnya, perencanaan kebijakan acap kali tak maksimal. Pelaksanaan pembangunan juga tidak efisien dan efektif, serta banyak program pemerintah yang meleset dari sasaran (Razali Ritonga, 2009). Kisruh daftar pemilih tetap (DPT) yang selalu berulang menjelang pemilihan umum, dan kebocoran (salah sasaran) yang terjadi pada program Bantuan Langsung Tunai (BLT), adalah buktinya.
Ditengarai, salah satu sumbu persoalannya adalah tidak adanya satu instansi khusus yang benar-benar berfokus mengurusi data kependudukan. Seperti diketahui, hingga kini data kependudukan tersebar dan ditangani oleh banyak instansi, seperti Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Sosial, Badan Pusat Statistik (BPS), dan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).
Selama ini, data kependudukan juga terkesan diabaikan. Hal ini tecermin dari karut-marutnya pelaksanaan registrasi penduduk. Padahal, jika dilakukan dengan benar, registrasi penduduk merupakan sumber utama data kependudukan-selain sensus dan survei-yang memenuhi standar ketepatan waktu dan kelengkapan data individu. Fakta di lapangan menunjukkan, pelaksanaan registrasi penduduk-yang semestinya mencatat tiap kejadian yang dialami penduduk (lahir, mati, dan pindah) secara real time-kurang mendapat perhatian. 
Pembentukan Kementerian Kependudukan juga merupakan hal yang sangat urgen untuk saat ini karena Indonesia sedang menikmati "bonus demografi". Suatu kondisi kependudukan yang ditandai dengan meningkatnya proporsi penduduk usia produktif (15-64 tahun) dan menurunnya proporsi penduduk usia tidak produktif (< 15 tahun dan 65+ tahun). Struktur penduduk yang menguntungkan ini berdampak pada mengecilnya rasio ketergantungan atau angka beban tanggungan (dependency ratio) penduduk usia produktif.
Hasil proyeksi BPS memperlihatkan, kondisi tersebut akan berlangsung hingga dua dekade mendatang. Setelah 2031, angka beban tanggungan akan kembali naik, dan Indonesia akan memasuki periode "utang demografi", yang ditandai dengan struktur penduduk yang didominasi kelompok penduduk usia tua (65+ tahun).
Bonus demografi merupakan jendela peluang (opportunity window) bagi Indonesia. Jika bisa dimanfaatkan dengan baik, hal itu dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian, kesejahteraan masyarakat dapat ditingkatkan. Karena itu, agar tidak kehilangan momentum dan terhindar dari jebakan pendapatan menengah (middle income trap), sejumlah kebijakan strategis, utamanya investasi modal manusia, harus diambil oleh pemerintah mendatang. Dan, hal ini bakal sulit dilakukan tanpa dukungan data kependudukan yang berkualitas sebagai pijakan. [] Kadir, Bekerja di Badan Pusat Statistik

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Produksi Padi dan Pemilihan Presiden

Dimuat di Koran Tempo, 04 Juli 2014 Ada pola yang menarik bila kita mengulik tren data produksi padi nasional selama beberapa tahun terakhir. Kenaikan produksi ternyata selalu terjadi pada tahun-tahun saat pemilihan presiden dihelat. Sebagai contoh, pada 1 Juli 2004, tiga hari menjelang pilpres putaran pertama, Badan Pusat Statistik merilis angka ramalan produksi padi nasional yang menyebutkan bahwa produksi padi pada 2004 diperkirakan mencapai 53,67 juta ton gabah kering giling, atau mengalami peningkatan sebesar 1,5 juta ton (2,93 persen) dibanding produksi pada 2003. Hal yang sama juga terjadi pada 2009. Seminggu sebelum pilpres dihelat pada 8 Juli, BPS mengumumkan bahwa produksi padi nasional pada 2009 diperkirakan mencapai 62,56 juta ton, atau naik sebesar 2,24 juta ton (3,71 persen) dibanding produksi pada 2008. Bagi sebagian kalangan, terutama yang selama ini meragukan akurasi data produksi padi/beras nasional, hal ini bukan sekadar kebetulan. Pola kenaikan tersebut dit

Subsidi untuk Keluarga Miskin

Dimuat di Koran Tempo, 21 Juli 2014 Profil kemiskinan yang dirilis Badan Pusat Statistik pada awal bulan ini (1 Juli) menyebutkan, jumlah penduduk miskin pada Maret 2014 mencapai 28,28 juta orang (11,25 persen), atau hanya berkurang 0,32 juta orang dibanding kondisi pada September 2013. Profil kemiskinan ini memberi konfirmasi mengenai dua hal. Pertama, dampak kenaikan harga bahan bakar minyak pada akhir Juni tahun lalu terhadap kehidupan masyarakat kecil cukup dalam. Ternyata, tidak sedikit dari mereka yang terjerembap ke jurang kemiskinan selepas kenaikan harga BBM dan hingga kini tetap miskin. Kedua, laju penurunan jumlah penduduk miskin terus melambat, bahkan boleh dibilang telah menyentuh titik jenuh. Hal ini menunjukkan kondisi kemiskinan yang terjadi sudah kronis (chronic poverty) serta cenderung persisten dan sulit diatasi. Mereka yang tengah bergelut dalam kemiskinan saat ini adalah penduduk dengan tingkat kapabilitas (pendidikan dan kesehatan) yang sangat rendah, tin

Tingkat Kemakmuran Indonesia Lompat 21 Peringkat

Koran Tempo, 5 Maret 2016 Kemakmuran ternyata bukan melulu soal seberapa banyak materi atau kekayaan yang dikumpulkan suatu negara. Kekayaan memang merupakan salah satu faktor penentu utama kemakmuran, tapi bukan segalanya. Dimensi kemakmuran lebih luas dari sekadar akumulasi kekayaan materi. Ia juga mencakup dimensi non-materi, seperti kegembiraan hidup dan prospek untuk membangun hidup yang lebih baik di masa mendatang. Legatum Institute, sebuah lembaga think-tank yang berkedudukan di London, mencoba membangun sebuah indikator yang diupayakan mampu mengukur sebaik mungkin kemakmuran suatu negara secara multi-dimensi. Indikator tersebut tidak hanya didasarkan pada pendapatan, tapi juga sejumlah dimensi kualitatif yang merepresentasikan kesejahteraan (well-being). Indikator yang dikembangkan tersebut dikenal sebagai Legatum Prosperity Index yang diluncurkan setiap tahun sejak 2009. Indeks tersebut merupakan indeks komposit yang mencakup 89 variabel, dari variabel klasik se