Dimuat di Koran Tempo, 22 Desember 2014
Salah satu capaian Menteri Susi yang
patut dibanggakan adalah keberhasilannya menurunkan harga ikan. Hal itu
tecermin dari statistik harga konsumen (inflasi) yang dirilis Badan Pusat
Statistik (BPS) pada awal bulan ini. BPS melaporkan, komoditas ikan segar
mengalami penurunan harga sebesar 0,37 persen sehingga menyumbang deflasi
sebesar 0,02 persen pada November 2014. Padahal nyaris semua komoditas yang
termasuk dalam kelompok bahan makanan justru menyumbang inflasi.
Secara ekonomi, penurunan harga
tersebut merupakan pertanda bahwa pasokan ikan berlimpah. Dalam soal ini,
sedikitnya ada dua penyebab. Pertama, kondisi cuaca yang mendukung nelayan
untuk melaut. Kedua, boleh jadi, hal itu merupakan buah dari keseriusan dan
kerja keras Menteri Susi dalam memerangi aksi pencurian ikan (illegal fishing)
dalam beberapa bulan terakhir, yang puncaknya adalah penenggelaman tiga kapal
nelayan Vietnam di perairan Anambas, Kepulauan Riau, pada awal bulan ini.
Tak bisa dimungkiri, aksi
penenggelaman tersebut mampu memberi efek kejut bagi kapal-kapal nelayan asing
yang terbiasa wara-wiri di perairan Indonesia untuk mencuri ikan. Seperti
diwartakan sejumlah media, pasca-penenggelaman tersebut, wilayah perairan
Indonesia, terutama di titik-titik di mana aksi pencurian ikan biasa terjadi,
menjadi sepi dari aktivitas kapal-kapal nelayan asing. Ditengarai, hal itu
berdampak signifikan terhadap peningkatan hasil tangkapan nelayan lokal
sehingga membikin pasokan ikan segar berlimpah.
Selain meningkatkan hasil tangkapan
nelayan, keseriusan pemerintah dalam memerangi illegal fishing sejatinya bakal
mendorong peningkatan konsumsi ikan masyarakat, karena pasokan ikan yang
berlimpah dengan harga terjangkau.
Faktanya, konsumsi ikan masyarakat
Indonesia masih rendah. Itu pun sebagian ikan yang dikonsumsi adalah hasil
budidaya, seperti mujair dan lele, yang, kata Menteri Susi, nyaris 100 persen
komponen pakannya harus diimpor. Data statistik memperlihatkan, konsumsi ikan
per kapita masyarakat Indonesia rata-rata hanya 35 kilogram per tahun. Angka
ini lebih rendah bila dibandingkan dengan Malaysia, yang konsumsi ikan
penduduknya sebesar 56 kilogram per kapita per tahun; dan Singapura, yang
mencapai 49 kilogram per kapita per tahun.
Tidak mengherankan bila konsumsi
protein hewani penduduk Indonesia relatif rendah. Bayangkan, dari kebutuhan
protein hewani sebesar 150 gram per hari, rata-rata pemenuhan masyarakat
Indonesia hanya 60 persen. Cukup jauh bila dibandingkan dengan Thailand, yang
mencapai 100 persen; dan Vietnam, yang mencapai 80 persen. Hal tersebut
ditengarai telah berkontribusi signifikan terhadap tingginya prevalensi orang
bertumbuh pendek dan gizi kurang di tanah air.
Ini tentu
sebuah ironi, mengingat negeri ini sejatinya diberkahi Tuhan dengan kekayaan
ikan yang berlimpah, yang notabene merupakan salah satu sumber utama protein
hewani. Bayangkan, luas perairan laut negeri ini mencapai 5,8 juta kilometer
persegi, dengan potensi produksi ikan lebih dari 7 juta ton per tahun. Karena
itu, keseriusan dan kerja keras yang ditunjukkan Menteri Susi adalah sebuah
harapan, tidak hanya bagi peningkatan kesejahteraan nelayan, tapi juga untuk
peningkatan konsumsi ikan dan asupan protein masyarakat Indonesia. *
Komentar
Posting Komentar