Langsung ke konten utama

Jalan Terjal Surplus 10 Juta Ton Beras

Statistik produksi padi yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada awal bulan ini (1 Juli) sedikit merisaukan. Pasalnya, produksi padi secara nasional tahun ini diperkirakan hanya 69,27 juta ton gabah kering giling (GKG) atau naik tipis 0,21 juta ton (0,31 persen) dibanding pada tahun lalu. Adapun ihwal pencapaian target surplus beras 10 juta ton pada 2014, perkiraan produksi yang dirilis BPS tersebut tentu merupakan peringatan serius: target ambisius ini terancam urung tercapai atau setidaknya bakal meniti jalan terjal.
Betapa tidak, sesuai dengan skenario pemerintah, surplus beras 10 juta ton bakal tercapai jika produksi padi-dalam kualitas GKG-tahun ini mencapai 72,06 juta ton dan meningkat menjadi 76,57 juta ton atau setara dengan 43,05 juta ton beras tahun depan (Kementan, 2013).
Sayangnya, produksi padi tahun ini diperkirakan 2,79 juta ton lebih rendah daripada sasaran yang telah ditetapkan pemerintah. Konsekuensinya, sepanjang tahun ini hingga 2014, produksi padi harus tumbuh minimal 10,54 persen agar target surplus beras 10 juta ton bisa direngkuh. Tanpa upaya luar biasa, ini tentu sangat sulit-bahkan mustahil-dicapai. Statistik menunjukkan, dalam lima tahun terakhir, laju peningkatan produksi padi nasional rata-rata hanya 2,8 persen per tahun.
Angka perkiraan produksi padi yang dirilis BPS awal bulan ini disebut angka ramalan satu (Aram I), yang merupakan hasil penjumlahan realisasi produksi caturwulan I dengan ramalan produksi caturwulan II dan III. Angka produksi caturwulan I merupakan angka final yang menunjukkan capaian produksi sepanjang Januari hingga April tahun ini, sementara angka produksi caturwulan II dan III merupakan angka perkiraan produksi sepanjang Mei hingga Desember yang masih bisa berubah hingga angka final atau angka tetap (Atap) produksi padi tahun ini dirilis BPS pada Juli tahun depan.
Meskipun masih berupa perkiraan, Aram I sebetulnya sudah cukup menggambarkan capaian produksi sepanjang tahun ini. Pasalnya, dalam sepuluh tahun terakhir, rata-rata deviasi atau penyimpangan Aram I terhadap Atap hanya 1,73 persen. Selain itu, sekitar 46 persen produksi padi dalam setahun dihasilkan sepanjang Januari hingga April, terutama pada Maret dan April saat panen raya. Karena itu, laporan BPS yang menunjukkan bahwa produksi padi pada caturwulan I tahun ini hanya 32,31 juta ton atau naik tipis 0,18 juta ton (0,57 persen) dibanding pada caturwulan yang sama tahun lalu sudah seharusnya menjadi peringatan dini bahwa pencapaian sasaran produksi 72,06 juta ton tahun ini dan juga target surplus beras 10 juta ton tahun depan bakal meniti jalan terjal.
Kerja keras menggenjot produksi sepanjang Mei hingga Desember tahun ini mutlak dilakukan. Dan, tantangan bakal semakin berat karena para pejabat dan politikus sudah mulai disibukkan dengan pencapaian target-target politik menjelang 2014.
Kapasitas produksi
Statistik produksi padi yang dirilis BPS juga mengkonfirmasi bahwa beragam upaya yang telah dilakukan pemerintah selama ini-yang lebih berfokus pada upaya peningkatan produktivitas-ternyata belum mampu meningkatkan kapasitas produksi padi secara berarti.
Dalam soal kapasitas produksi, penyusutan luas lahan sawah akibat derasnya laju konversi lahan sawah ke penggunaan non-pertanian merupakan persoalan serius yang harus segera diselesaikan. Data yang menyeruak di ruang publik selama ini begitu mengkhawatirkan. Betapa tidak, laju konversi lahan sawah produktif ke penggunaan non-pertanian-dari pemukiman, industri, hingga lapangan golf di sejumlah daerah penyangga kota-kota besar-diperkirakan setiap tahunnya mencapai 100 ribu hektare dan hanya mampu diimbangi pemerintah dengan pencetakan 40 ribu hektare sawah baru setiap tahun. Itu artinya, dalam setahun, 60 ribu hektare lahan sawah lenyap di negeri ini.
Celakanya, sebagian besar konversi lahan justru terjadi pada sawah-sawah subur di Pulau Jawa yang menopang 53 persen produksi padi nasional. Jika terus berlanjut, ini tentu merupakan ancaman serius bagi keberlanjutan produksi padi dan beras nasional. Bayangkan, jika diasumsikan, produktivitas padi yang ditanam pada lahan terkonversi rata-rata 5 ton GKG/hektare dan indeks panen dua kali dalam setahun. Itu artinya, rata-rata 600 ribu ton GKG atau setara 378 ribu ton beras lenyap dalam setahun.
Luas lahan sawah yang terus menyusut praktis membuat upaya yang dapat dilakukan pemerintah untuk meningkatkan kapasitas produksi padi nasional hanya dengan cara memaksimalkan luas tanam atau indeks pertanaman pada sekitar 8 juta hektare lahan sawah yang ada serta memacu produktivitas di tengah kondisi lahan sawah yang kian lelah: dalam sepuluh tahun terakhir, laju peningkatan produktivitas rata-rata hanya 1,27 persen per tahun.
Telah jamak diketahui, beras merupakan komoditas pangan strategis. Sekitar 80 persen asupan (intake) karbohidrat penduduk negeri ini berasal dari nasi yang ditanak dari beras. Karena itu, keberlanjutan penyediaan beras nasional untuk mengisi perut lebih dari 240 juta penduduk negeri ini-yang jumlahnya terus bertumbuh-menuntut peningkatan kapasitas produksi padi nasional secara signifikan. Ini hanya bisa terwujud dengan tidak melulu berfokus pada upaya peningkatan produktivitas. Pencetakan sawah baru secara masif-terutama di luar Jawa-dan penyelamatan sawah-sawah produktif yang masih ada juga harus dilakukan oleh pemerintah.
Terkait dengan upaya terakhir, sebagaimana sudah sering disoal oleh banyak kalangan, moratorium konversi lahan sawah seharusnya bukan lagi sekadar wacana. Kemandulan peraturan perundangan yang ditujukan untuk perlindungan lahan sawah harus segera diakhiri. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan serta empat Peraturan Pemerintah (PP)-yakni PP 1/2011, PP 12/2012, PP 25/2012, dan PP 30/2012-tentang perlindungan lahan sawah, misalnya, harus ditegakkan. Komitmen, ketegasan, dan keberanian pemerintah dibutuhkan dalam hal ini.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Produksi Padi dan Pemilihan Presiden

Dimuat di Koran Tempo, 04 Juli 2014 Ada pola yang menarik bila kita mengulik tren data produksi padi nasional selama beberapa tahun terakhir. Kenaikan produksi ternyata selalu terjadi pada tahun-tahun saat pemilihan presiden dihelat. Sebagai contoh, pada 1 Juli 2004, tiga hari menjelang pilpres putaran pertama, Badan Pusat Statistik merilis angka ramalan produksi padi nasional yang menyebutkan bahwa produksi padi pada 2004 diperkirakan mencapai 53,67 juta ton gabah kering giling, atau mengalami peningkatan sebesar 1,5 juta ton (2,93 persen) dibanding produksi pada 2003. Hal yang sama juga terjadi pada 2009. Seminggu sebelum pilpres dihelat pada 8 Juli, BPS mengumumkan bahwa produksi padi nasional pada 2009 diperkirakan mencapai 62,56 juta ton, atau naik sebesar 2,24 juta ton (3,71 persen) dibanding produksi pada 2008. Bagi sebagian kalangan, terutama yang selama ini meragukan akurasi data produksi padi/beras nasional, hal ini bukan sekadar kebetulan. Pola kenaikan tersebut dit

Subsidi untuk Keluarga Miskin

Dimuat di Koran Tempo, 21 Juli 2014 Profil kemiskinan yang dirilis Badan Pusat Statistik pada awal bulan ini (1 Juli) menyebutkan, jumlah penduduk miskin pada Maret 2014 mencapai 28,28 juta orang (11,25 persen), atau hanya berkurang 0,32 juta orang dibanding kondisi pada September 2013. Profil kemiskinan ini memberi konfirmasi mengenai dua hal. Pertama, dampak kenaikan harga bahan bakar minyak pada akhir Juni tahun lalu terhadap kehidupan masyarakat kecil cukup dalam. Ternyata, tidak sedikit dari mereka yang terjerembap ke jurang kemiskinan selepas kenaikan harga BBM dan hingga kini tetap miskin. Kedua, laju penurunan jumlah penduduk miskin terus melambat, bahkan boleh dibilang telah menyentuh titik jenuh. Hal ini menunjukkan kondisi kemiskinan yang terjadi sudah kronis (chronic poverty) serta cenderung persisten dan sulit diatasi. Mereka yang tengah bergelut dalam kemiskinan saat ini adalah penduduk dengan tingkat kapabilitas (pendidikan dan kesehatan) yang sangat rendah, tin

Tingkat Kemakmuran Indonesia Lompat 21 Peringkat

Koran Tempo, 5 Maret 2016 Kemakmuran ternyata bukan melulu soal seberapa banyak materi atau kekayaan yang dikumpulkan suatu negara. Kekayaan memang merupakan salah satu faktor penentu utama kemakmuran, tapi bukan segalanya. Dimensi kemakmuran lebih luas dari sekadar akumulasi kekayaan materi. Ia juga mencakup dimensi non-materi, seperti kegembiraan hidup dan prospek untuk membangun hidup yang lebih baik di masa mendatang. Legatum Institute, sebuah lembaga think-tank yang berkedudukan di London, mencoba membangun sebuah indikator yang diupayakan mampu mengukur sebaik mungkin kemakmuran suatu negara secara multi-dimensi. Indikator tersebut tidak hanya didasarkan pada pendapatan, tapi juga sejumlah dimensi kualitatif yang merepresentasikan kesejahteraan (well-being). Indikator yang dikembangkan tersebut dikenal sebagai Legatum Prosperity Index yang diluncurkan setiap tahun sejak 2009. Indeks tersebut merupakan indeks komposit yang mencakup 89 variabel, dari variabel klasik se