Langsung ke konten utama

Karut-Marut Data Penerima Bantuan Langsung

Pentingnya akurasi data dalam eksekusi suatu kebijakan adalah proposisi yang tak terbantahkan. Terlalu banyak contoh untuk menunjukkan betapa mahalnya ongkos sosial, politik, dan ekonomi jika suatu kebijakan yang menyangkut kepentingan publik secara luas didasarkan pada data yang tidak akurat.
Di Negeri Abang Sam, misalnya, pada 1995, Senat membentuk sebuah komisi yang dipimpin oleh Michael Boskin, ekonom dari Universitas Standford, untuk menyelidiki kemungkinan terjadinya bias pada pencatatan inflasi yang dilakukan oleh Biro Statistik Amerika Serikat. Komisi yang kemudian lebih dikenal dengan nama Komisi Boskin itu menemukan bahwa angka inflasi AS lebih besar 1,1 persen pada 1996 dan 1,3 persen pada periode sebelum 1996. Kekeliruan pencatatan inflasi ini menyumbang peningkatan defisit anggaran sebesar US$ 148 miliar dan juga utang pemerintah sebesar US$ 691 miliar (Toward a More Accurate Measure of The Cost Living, 1996).
Di negeri ini, mahalnya ongkos yang harus dibayar akibat tidak akuratnya data dalam eksekusi suatu kebijakan sedang terpapar di depan mata. Diketahui, sebagai kompensasi atas keputusan menaikkan harga BBM pada Juni lalu, pemerintah memberikan bantuan melalui program Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) kepada 15,5 juta rumah tangga yang terkena dampak ekonomi dari keputusan menaikkan harga BBM. Sayangnya, data rumah tangga penerima bantuan ditengarai tidak akurat, sehingga bantuan justru menyasar kelompok berkecukupan dan mengabaikan kelompok miskin. Kisruh dan protes terhadap karut-marutnya data pun meluas di mana-mana.
Badan Pusat Statistik (BPS), institusi pemerintah yang dianggap paling bertanggung jawab atas hal tersebut, akhirnya menjadi bulan-bulanan kemarahan publik yang tidak puas atas penyaluran BLSM. Beberapa hari lalu, misalnya, kantor BPS Kabupaten Manokwari diserbu dan disegel oleh puluhan warga yang namanya tidak terdaftar sebagai penerima bantuan (Kompas.com, 5 Juli). Kisruh dan protes bakal terus berlanjut. Dan entah kantor BPS di daerah mana lagi yang bakal menjadi sasaran ketidakpuasan publik ihwal penyaluran BLSM.
Posisi BPS
Dalam upaya mengentaskan masyarakat dari kemiskinan, pemerintah tidak hanya membutuhkan data kemiskinan makro-yakni jumlah dan persentase penduduk miskin. Untuk berbagai program penanggulangan kemiskinan yang bersifat target sasaran seperti BLSM, pemerintah juga membutuhkan data kemiskinan yang bisa menjelaskan tentang siapa Si Miskin, di mana alamatnya, dan bagaimana kondisi sosial-ekonominya. Data jenis ini disebut data kemiskinan mikro, karena memuat informasi rinci tentang siapa Si Miskin dan di mana alamatnya (by name, by address).
Berbagai program penanggulangan kemiskinan oleh pemerintah juga harus didasarkan pada basis data kemiskinan mikro yang sama (unifikasi data), agar program tidak tumpang-tindih. Diketahui, saat ini varian program penanggulangan kemiskinan pemerintah cukup banyak. Tanpa unifikasi data, dapat dipastikan bahwa efektivitas program-program tersebut bakal terganggu.
Hingga kini, data kemiskinan mikro sudah tiga kali dikumpulkan oleh BPS, yakni pada 2005, 2008, dan terakhir pada 2011. Data rumah tangga penerima BLSM tahun ini merupakan data kemiskinan mikro tahun 2011 yang dihasilkan dari kegiatan Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) yang dilaksanakan selama enam bulan sejak Juli hingga Desember 2011 dengan melibatkan 120 ribu orang petugas pencacah lapangan.
Penentuan status kemiskinan rumah tangga pada PPLS 2011 menggunakan metode statistik (kuantitatif). Dengan demikian, konsistensi dan obyektivitas dalam penentuan status kemiskinan rumah tangga lebih terjamin. Terlepas dari kemungkinan terjadinya kesalahan (error)-yang merupakan sebuah keniscayaan dalam setiap penyelenggaraan kegiatan statistik-akurasi data PLLS 2011 sebetulnya dapat dipertanggungjawabkan karena telah melalui proses validasi yang sangat ketat di lapangan.
Basis data kemiskinan mikro hasil kegiatan PPLS 2011 disebut Basis Data Terpadu (BDT). BDT memuat informasi mengenai 24,5 juta rumah tangga atau 96 juta individu dengan tingkat kesejahteraan terendah (miskin dan hampir miskin) yang menjadi target program perlindungan sosial. Pada Januari 2012, BDT diserahkan oleh BPS kepada Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K). Dan sejak saat itu, BDT dikelola oleh TNP2K serta digunakan sebagai dasar untuk menentukan rumah tangga sasaran dalam berbagai program penanggulangan kemiskinan-termasuk BLSM-di bawah koordinasi Wakil Presiden Republik Indonesia. Karena itu, penentuan 15,5 juta rumah tangga penerima BLSM tahun ini-meskipun didasarkan pada hasil PPLS 2011-sejatinya dilakukan oleh TNP2K, bukan oleh BPS.
Data lama
Menurut Johanes Supranto (2009), salah satu syarat data yang baik (akurat) adalah tepat waktu (up to date). Dengan demikian, potret yang disajikan oleh data yang akurat haruslah kondisi terkini dan mutakhir.
Dalam soal akurasi data, pemerintah tampaknya sedikit tergesa-gesa ihwal penyaluran BLSM. Idealnya, sebelum digunakan sebagai dasar penentuan rumah tangga penerima BLSM, data hasil PPLS 2011 dimutakhirkan lebih dulu. Paling tidak, data 15,5 juta rumah tangga yang ditetapkan sebagai penerima bantuan diverifikasi ulang. Dengan demikian, kisruh yang terjadi saat ini akibat karut-marutnya data bisa diminimalkan, bahkan dihindari. Dalam dua tahun tentu banyak terjadi perubahan di lapangan. Status kemiskinan rumah tangga, misalnya, adalah variabel yang sangat dinamis. Jangankan dalam dua tahun, dalam enam bulan pun variabel ini bisa berubah.
Karena itu, tidak membuat heran jika kemudian banyak BLSM yang justru menyasar golongan mampu (inclusion error), dan sebaliknya mengabaikan mereka yang seharusnya menerima bantuan (exclusion error). Begitu pula ihwal banyaknya rumah tangga penerima bantuan yang ternyata sudah berpindah alamat atau meninggal dunia, semua ini disebabkan oleh kondisi data yang tidak terbarukan alias data lama. Meski demikian, terlepas dari karut-marutnya data, penyaluran BLSM harus terus dikawal secara bersama-sama oleh publik dan pemerintah sehingga tepat sasaran.
Penggambaran kaum miskin di Cina, di masa lampau, adalah seperti seseorang yang sedang berdiri di tengah samudra, dengan air sampai di leher. Sedikit saja gelombang datang menerpa, ia akan tenggelam. Dan, dengan mengabaikan kemungkinan adanya motif politik yang menyertainya, BLSM sejatinya adalah jalan mulia untuk menyelamatkan kelompok miskin dan hampir miskin dari empasan gelombang kenaikan harga-harga (inflasi) akibat naiknya harga BBM.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Produksi Padi dan Pemilihan Presiden

Dimuat di Koran Tempo, 04 Juli 2014 Ada pola yang menarik bila kita mengulik tren data produksi padi nasional selama beberapa tahun terakhir. Kenaikan produksi ternyata selalu terjadi pada tahun-tahun saat pemilihan presiden dihelat. Sebagai contoh, pada 1 Juli 2004, tiga hari menjelang pilpres putaran pertama, Badan Pusat Statistik merilis angka ramalan produksi padi nasional yang menyebutkan bahwa produksi padi pada 2004 diperkirakan mencapai 53,67 juta ton gabah kering giling, atau mengalami peningkatan sebesar 1,5 juta ton (2,93 persen) dibanding produksi pada 2003. Hal yang sama juga terjadi pada 2009. Seminggu sebelum pilpres dihelat pada 8 Juli, BPS mengumumkan bahwa produksi padi nasional pada 2009 diperkirakan mencapai 62,56 juta ton, atau naik sebesar 2,24 juta ton (3,71 persen) dibanding produksi pada 2008. Bagi sebagian kalangan, terutama yang selama ini meragukan akurasi data produksi padi/beras nasional, hal ini bukan sekadar kebetulan. Pola kenaikan tersebut dit

Subsidi untuk Keluarga Miskin

Dimuat di Koran Tempo, 21 Juli 2014 Profil kemiskinan yang dirilis Badan Pusat Statistik pada awal bulan ini (1 Juli) menyebutkan, jumlah penduduk miskin pada Maret 2014 mencapai 28,28 juta orang (11,25 persen), atau hanya berkurang 0,32 juta orang dibanding kondisi pada September 2013. Profil kemiskinan ini memberi konfirmasi mengenai dua hal. Pertama, dampak kenaikan harga bahan bakar minyak pada akhir Juni tahun lalu terhadap kehidupan masyarakat kecil cukup dalam. Ternyata, tidak sedikit dari mereka yang terjerembap ke jurang kemiskinan selepas kenaikan harga BBM dan hingga kini tetap miskin. Kedua, laju penurunan jumlah penduduk miskin terus melambat, bahkan boleh dibilang telah menyentuh titik jenuh. Hal ini menunjukkan kondisi kemiskinan yang terjadi sudah kronis (chronic poverty) serta cenderung persisten dan sulit diatasi. Mereka yang tengah bergelut dalam kemiskinan saat ini adalah penduduk dengan tingkat kapabilitas (pendidikan dan kesehatan) yang sangat rendah, tin

Tingkat Kemakmuran Indonesia Lompat 21 Peringkat

Koran Tempo, 5 Maret 2016 Kemakmuran ternyata bukan melulu soal seberapa banyak materi atau kekayaan yang dikumpulkan suatu negara. Kekayaan memang merupakan salah satu faktor penentu utama kemakmuran, tapi bukan segalanya. Dimensi kemakmuran lebih luas dari sekadar akumulasi kekayaan materi. Ia juga mencakup dimensi non-materi, seperti kegembiraan hidup dan prospek untuk membangun hidup yang lebih baik di masa mendatang. Legatum Institute, sebuah lembaga think-tank yang berkedudukan di London, mencoba membangun sebuah indikator yang diupayakan mampu mengukur sebaik mungkin kemakmuran suatu negara secara multi-dimensi. Indikator tersebut tidak hanya didasarkan pada pendapatan, tapi juga sejumlah dimensi kualitatif yang merepresentasikan kesejahteraan (well-being). Indikator yang dikembangkan tersebut dikenal sebagai Legatum Prosperity Index yang diluncurkan setiap tahun sejak 2009. Indeks tersebut merupakan indeks komposit yang mencakup 89 variabel, dari variabel klasik se