Hasil hitung cepat pemilihan gubernur (Pilgub)
Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Jawa Tengah membuat sejumlah pihak meragukan
reputasi lembaga survei dalam menakar tingkat keterpilihan (elektabilitas) para
kandidat.
Betapa tidak, berdasarkan hasil survei sejumlah
lembaga survei sepanjang Mei-Juni 2018, elektabiltas pasangan Sudirman Said-Ida
Fauziah dalam pilgub Jawa Tengah hanya sebesar 12-23 persen.
Sementara hasil hitung cepat, yang boleh dibilang,
lebih mendekati hasil perhitungan resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyebutkan
bahwa perolehan suara keduanya mencapai 40 persen lebih.
Hal yang sama juga terjadi di Jawa Barat. Hasil
survei sejumlah lembaga survei sebelumnya memotret bahwa elektabilitas pasangan
Sudrajat-Ahmad Syaikhu rata-rata hanya di bawah 10 persen sepanjang Mei-Juni
2018.
Nyatanya, hasil hitung cepat berbicara lain.
Perolehan suara keduanya justru diperkirakan mencapai 29 persen, berselisih
tipis dengan suara peringkat pertama, yakni pasangan Ridwan Kamil-Uu Ruhzanul
Ulum, yang mencapai 33 persen.
Terkait inkonsistensi ini, tidak membikin heran jika
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Gerindra Fadli Zon mengatakan
bahwa lembaga survei tidak lebih akurat dibanding dukun dalam memprediksi
perolehan suara para kandidat dalam pilgub kali ini (Kompas.com, 29 Juni 2018).
Menyikapi
hasil survei
Untuk menyikapi hasil survei dengan bijak dan
obyektif, pengetahuan yang memadai tentang teknis pelaksanaan survei tentu amat
diperlukan. Hal pertama yang patut diperhatikan adalah hasil survei
elektabilitas yang dirilis oleh lembaga survei sejatinya merupakan potret
kondisi saat survei dilaksanakan.
Adapun dalam rentang waktu setelah survei dilakukan
hingga hari pemungutan suara, elektabilitas setiap calon boleh jadi sangat
dinamis dan bisa berubah dengan cepat. Dengan kata lain, segala kemungkinan
bisa terjadi hingga detik akhir pemungutan suara. Nampaknya, inilah yang
terjadi dalam kasus Pilgub Jawa Tengah dan Jawa Barat.
Selain itu, hasil survei pada dasarnya hanyalah
dugaan terhadap realitas yang ingin dipotret dengan memanfaatkan teknik statistik.
Dugaan ini masih mengandung unsur kesalahan (error) karena bersifat perkiraan meski didasarkan pada metode
saintifik. Dalam hal ini, kesahihan dan keterandalan metode yang digunakan
serta kontrol kualitas (quality control)
dalam pelaksanan survei juga sangat menentukan akurasi elektabilitas yang
dipotret.
Secara umum, terdapat dua jenis kesalahan yang
muncul dalam pelaksanaan survei, yakni kesalahan terkait teknis pemilihan
sampel (sampling error) dan kesalahan
di luar teknis penarikan sampel (non-sampling
error). Kesalahan jenis pertama merupakan keniscayaan dalam pelaksanaan
sebuah survei akibat penggunaan data sampel untuk menduga parameter populasi
(realitas). Kesalahan ini mencakup kesalahan estimasi (estimation error) dan kesalahan pemilihan sampel (selection error). Karena terkait dengan
teknis penerapan metode sampling, sampling
error dapat dikendalikan dengan mudah.
Adapun non-sampling
error relatif lebih sulit dikontrol karena menyangkut berbagai hal di luar
teknik penarikan sampel. Kesalahan ini umumnya menyangkut proses pengumpulan data
lapangan sehingga dapat bersumber dari petugas pengumpul data dan/atau
responden sebagai obyek survei. Selain itu, potensi bias juga bisa terjadi jika
struktur pertanyaan dalam survei baik secara langsung maupun tidak langsung
mengarahkan responden untuk memilih kandidat tertentu.
Karena itu, penggunaan hasil survei elektabilitas
untuk menduga perolehan suara setiap kandidat di hari pemungutan suara memilki
peluang kesalahan yang sangat besar. Apalagi jika jarak antara waktu ketika survei
dilakukan dan hari pencoblosan cukup jauh. Jika dilakukan dengan penuh percaya
diri, lembaga survei justru sedang mempertaruhkan reputasinya.
Terlepas dari itu semua, keberadaan lembaga survei
dengan berbagai hasil surveinya sejatinya merupakan hal yang positif untuk mendorong
literasi statistik di tengah masyarakat. Dengan itu, apa yang disebut evidence-based society yang
merupakan ciri masyarakat modern dapat terwujud.
Lembaga survei juga memiliki tanggung jawab moral
untuk menyajikan hasil survei yang benar-benar memotret realitas dan
mencerahkan masyarakat. Jangan sampai, hasil survei yang sebetulnya lemah
secara metodologi dan kualitas pelaksanaan lapangan dibunyikan dengan percaya
diri di ruang publik. Alih-alih mencerahkan, informasi yang disajikan justru
dapat menyesatkan masyarakat. Dalam hal ini, penilaian atas layak tidaknya
hasil sebuah survei untuk dibunyikan di ruang publik harus didasarkan pada
telaah terhadap metode pemilihan sampel yang diterapkan dan kualitas
pelaksanaan lapangan.
Selain itu, setiap lembaga survei dituntut
transparan terkait metodelogi pemilihan sampel yang diterapkan dan berbagai
kekurangan serta kelemahan dalam pelaksanaan survei yang dapat memengaruhi
akurasi hasil survei yang hendak disampaikan ke khalayak. Hal ini menjadi
penting karena hasil survei, terutama yang menjadi sorotan media—meski
didasarkan pada metode pemilihan sampel yang lemah (shaky method) bahkan keliru serta kualitas pelaksanaan lapangan
yang buruk—memiliki magnitude yang sangat kuat dalam memengaruhi dan membentuk
opini publik. Setidaknya, hasil survei dapat memengaruhi keputusan mereka yang
termasuk swing voters dalam
menentukan pilihan di bilik suara.
Pada saat yang sama, masyarakat tidak boleh percaya
begitu saja dan menelan bulat-bulat hasil sebuah survei. Sikap kritis terhadap
kesahihan dan keterandalan metodologi yang digunakan serta reputasi lembaga
survei mesti dikedepankan. Terkait hal ini, nampaknya eksistensi sebuah
institusi yang memiliki otoritas untuk memverifikasi kesahihan dan keterandalan
metodologi serta kualitas sebuah survei menjadi sangat krusial. Lembaga
tersebut dapat berasal dari kalangan akademisi/perguruan tinggi atau lembaga
khusus yang dibentuk oleh pemerintah.
Komentar
Posting Komentar