ASEAN, Cina, dan Program Pembangunan PBB (UNDP) belum lama ini merilis laporan Financing the Sustainable Development Goals in ASEAN: Strengthening Integrated National Financing Frameworks to Deliver 2030 Agenda. Laporan ini menyebutkan bahwa secara umum negara-negara di kawasan Asia Tenggara (ASEAN) berhasil mencapai sebagian besar target Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) selama 2005-2015.
Namun masih ada sejumlah catatan yang mesti dibereskan. Sebagian catatan tersebut berkaitan erat dengan peran Indonesia sebagai negara berpenduduk terbesar di ASEAN. Lebih dari sepertiga dari 600 juta orang yang bermukim di negara-negara ASEAN merupakan penduduk Indonesia.
Dalam soal kemiskinan, diperkirakan 132 juta orang di kawasan ASEAN berhasil dientaskan dari kemiskinan ekstrem. Angka ini mencapai 12 persen dari total jumlah penduduk dunia yang berhasil keluar dari kemiskinan selama era MDG.
Dalam soal kemiskinan, diperkirakan 132 juta orang di kawasan ASEAN berhasil dientaskan dari kemiskinan ekstrem. Angka ini mencapai 12 persen dari total jumlah penduduk dunia yang berhasil keluar dari kemiskinan selama era MDG.
Indonesia dan Vietnam merupakan penyumbang utama penurunan tersebut. Sekitar 90 persen penurunan kemiskinan di kawasan ASEAN terjadi di dua negara ini. Capaian Indonesia boleh dibilang cukup mengesankan dengan rata-rata penurunan kemiskinan mencapai 10-15 persen per tahun. Tidak kurang dari 40 juta orang berhasil keluar dari kemiskinan ekstrem di Indonesia dalam kurun 2006-2014.
Kemiskinan ekstrem merujuk pada pendapatan kurang dari US$ 1,9 per kapita per hari berdasarkan paritas daya beli tahun 2011. Ukuran kemiskinan ini biasa disebut garis kemiskinan internasional. Saat ini diperkirakan sekitar 36 juta orang di kawasan ASEAN masih hidup di bawah garis kemiskinan internasional. Mayoritas mereka berada di Indonesia dan Filipina. Jumlah penduduk miskin di kedua negara mencakup 90 persen dari total penduduk miskin di ASEAN. Indonesia sendiri menyumbang sekitar 60 persen dari total jumlah tersebut.
Indonesia tampaknya akan tetap menjadi pusat kemiskinan di kawasan ASEAN dalam beberapa tahun mendatang. Hal ini disebabkan kinerja penurunan kemiskinan yang boleh dibilang kurang menggembirakan dalam beberapa tahun terakhir dan sepertinya akan terus berlanjut hingga beberapa tahun ke depan.
Faktanya, laju penurunan kemiskinan berjalan lambat dan cenderung stagnan selama tiga tahun terakhir. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, jumlah penduduk miskin hanya berkurang dari 28,28 juta jiwa atau sekitar 11,25 persen dari total penduduk Indonesia pada Maret 2014 menjadi 27,77 juta jiwa (10,64 persen) pada Maret 2017. Artinya, jumlah penduduk miskin hanya berkurang sekitar 500 ribu orang dan penurunan tingkat kemiskinan kurang dari 1 persen.
Hal ini mengkonfirmasi bahwa pertumbuhan ekonomi nasional, yang rata-rata hanya sekitar 5 persen per tahun selama tiga tahun terakhir, jauh dari memadai untuk menurunkan tingkat kemiskinan secara signifikan. Selain itu, dampak pertumbuhan ekonomi sebesar itu terhadap penurunan kemiskinan kenyataannya juga tereduksi oleh kesenjangan ekonomi antar-kelompok masyarakat yang cukup lebar.
Celakanya, hasil proyeksi sejumlah lembaga internasional, seperti Dana Moneter Internasional, Bank Pembangunan Asia, dan Bank Dunia, menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang 2017-2018 diperkirakan hanya berada pada kisaran 5,1-5,3 persen. Kalau mau realistis, berdasarkan angka-angka ini pemerintah bakal kesulitan untuk merealisasikan target angka kemiskinan sebesar 7-8 persen pada 2019, sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2014-2019. Tanpa kebijakan penanggulangan kemiskinan yang ekstrem, target ini mustahil akan terwujud.
Kemiskinan di Tanah Air merupakan fenomena pedesaan dan sektor pertanian (tanaman bahan makanan). Data BPS menunjukkan, sekitar 63 persen masyarakat miskin merupakan penduduk pedesaan dan mayoritas sangat bergantung pada kegiatan usaha tani. Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional memperlihatkan bahwa sekitar 60 persen kepala rumah tangga miskin di pedesaan mengandalkan sektor pertanian sebagai lapangan pekerjaan utama. Hal ini memberi konsekuensi bahwa, selain memacu pada pertumbuhan ekonomi yang dibarengi dengan pemerataan, keberhasilan percepatan penanggulangan kemiskinan hanya akan maksimal jika energi yang ada benar-benar difokuskan pada pembangunan pedesaan dan sektor pertanian.
Maka, penggunaan dana desa harus dioptimalkan. Puluhan triliun anggaran yang dialokasikan untuk mewujudkan swasembada pangan semestinya dapat meningkatkan kesejahteraan petani dan buruh tani secara signifikan. Apalah artinya peningkatan produksi pangan dan capaian swasembada bila sebagian besar petani masih hidup dalam jerat kemiskinan.
Komentar
Posting Komentar