Dimuat di Koran Sindo, 7 Februari 2018
Saat ini pemerintah berkomitmen memacu pertumbuhan ekonomi berkualitas disertai dengan perbaikan indikator kesejahteraan, seperti penurunan tingkat kemiskinan dan angka pengangguran.
Pada pembukaan Seminar Nasional Outlook Industri 2018, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menyatakan, meski dalam 2-3 tahun terakhir pertumbuhan ekonomi tidak terlalu tinggi, pertumbuhan tersebut berkualitas. Benarkah demikian? Faktanya, apa yang dicapai pemerintah terkait penurunan tingkat kemiskinan belum terlalu menggembirakan. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, sepanjang September 2014- September 2017, persentase penurunan penduduk miskin hanya sebesar 0,84%, yakni dari 10,96% menjadi 10,12% dari total jumlah penduduk.
Sementara jumlah absolut penduduk miskin hanya berkurang 1,15 juta orang atau rata-rata 383.330 orang per tahun. Celakanya, meski tingkat kemiskinan telah menyentuh level terendah sepanjang sejarah, kondisi ekonomi masyarakat miskin justru cenderung memburuk. Hal ini tercermin dari peningkatan nilai Indeks Kedalaman Kemiskinan dan Indeks Keparahan Kemiskinan yang masing-masing sebesar 0,04 poin dan 0,02 poin pada periode yang sama. Meski tak seberapa, kenaikan tersebut sejatinya mengonfirmasi dua hal. Pertama , ratarata pengeluaran penduduk miskin kian jauh di bawah garis kemiskinan.
Dengan kata lain, kenaikan harga-harga kebutuhan dasar membikin mereka bertambah miskin. Kedua , kesenjangan antarpenduduk miskin semakin parah. Padahal energi yang dicurahkan pemerintah untuk menurunkan tingkat kemiskinan sudah lumayan besar. Ini terlihat dari masifnya program perlindungan sosial untuk rakyat miskin dan besarnya anggaran penanggulangan kemiskinan yang mencapai Rp228,2 triliun (APBN 2017).
Miskin kronis
Ditengarai, stagnasi penurunan kemiskinan dalam beberapa tahun terakhir disebabkan kemiskinan telah mengerucut pada kondisi kronis (chronic poverty ) yang bersifat parah dan persisten. Dengan kata lain, dinamika angka kemiskinan hanya digerakkan pada perubahan status penduduk miskin sementara (transient poverty ). Hasil perhitungan dengan data Survei Sosial Ekonomi Nasional tahun 2008- 2010 memperlihatkan, jumlah penduduk miskin kronis di Indonesia mencapai 18,9 juta orang dengan rincian 11,9 juta orang di perdesaan dan 7 juta orang di perkotaan (Akita, 2013).
Ciri utama penduduk miskin kronis adalah kapabilitas (derajat pendidikan dan kesehatan) yang rendah. Akibatnya, mereka selalu kalah bersaing, sulit diberdayakan, dan memiliki rasa percaya diri rendah. Karena itu, mereka selalu tersisihkan dan terpinggirkan. Rendahnya kapabilitas yang dimiliki juga membatasi penduduk miskin kronis untuk terlibat dalamprosespembangun-andan menikmati kue pertumbuhan ekonomi. Pasalnya, mereka kurang memiliki akses terhadap faktor produksi (tenaga kerja, modal, tanah, dan kewirausahaan). Akibatnya, akses terhadap nilai tambah yang tercipta dalam proses ekonomi, yang agregasinya merupakan Produk Domestik Bruto (PDB), juga sangat minim.
Alhasil, porsi kue pertumbuhan ekonomi (pertambahan ukuran PDB) yang bisa dinikmati amat terbatas. Satu-satunya faktor produksi bernilai yang dimiliki penduduk miskin kronis adalah tenaga kerja. Faktanya, dari 27,8 juta penduduk miskin pada Maret 2017, sebanyak 14 juta orang (49,9%) bekerja di pertanian sebagai buruh, pekerja serabutan, dan petani gurem. Sekitar 7,12% (2 juta orang) bekerja sebagai buruh di kegiatan industri rumah tangga dan sekitar 8 juta lainnya adalah buruh bangunan di perkotaan, pedagang asongan, atau pekerja serabutan lainnya (Jousairi Hasbullah, 2017).
Tampaknya, dampak pertumbuhan ekonomi yang ratarata sekitar 5% dalam 2-3 tahun terakhir tidak menyentuh penduduk miskin kronis. Tak bisa ditampik, pertumbuhan sektor ekonomi tidak merata dan lebih didominasi sektor padat modal dan padat skilled labour (jasa, perdagangan, dan keuangan) yang tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan sektor riil (pertanian, pertambangan, dan manufaktur). Tidak mengherankan jika pertumbuhan yang terjadi justru menciptakan kesenjangan ekonomi karena tidak dibarengi dengan pemerataan yang memadai.
Hal ini tercermin dari nilai gini rasio yang berada di kisaran 0,4 dalam tiga tahun terakhir. Karena itu, kemiskinanhanyabisaditurunkansecara signifikan dengan program perlindungan sosial yang berfokus pada dua hal: meningkatkan taraf hidup penduduk miskin kronis dan memutustransferkemiskinanantargenerasi. Dengandemikian, anakyang berasal dari rumah tangga miskin kronisterbebasdarikemiskinan. Faktanya, sebanyak 11 juta penduduk miskin adalah anakanak (usia 0-17 tahun). Mereka miskin karena berasal dari keluarga yang juga miskin dan berpotensi meneruskan lingkaran setan kemiskinan. Diketahui, peluang anak yang tumbuh dalam kemiskinan kronis tetap miskin ketika dewasa 35% lebih tinggi dibandingkan anak yang tidak berasal dari rumah tangga miskin kronis (SMERU, 2009).
Memutus rantai kemiskinan
Untuk meningkatkan taraf hidup penduduk miskin kronis secara signifikan, pemerintah harus berfokus di daerah perdesaan dan pinggiran (remote area ). Hal ini pada dasarnya sejalan dengan agenda pembangunan yang diusung pemerintah untuk memberikan perhatian khusus terhadap daerah pinggiran. Data BPS memperlihatkan bahwa sekitar 63% penduduk miskin pada September 2017 tinggal di daerah perdesaan. Selain itu, dari 9,8 juta penduduk sangat miskin pada Maret 2017, sebanyak 6,4 juta orang atau 65% merupakan masyarakat perdesaan (BPS, 2017).
Itu artinya, akselerasi penurunan kemiskinan harus dimulai dari desa. Hal ini antara lain bisa dilakukan melalui pembangunan infrastruktur perdesaan dan pemanfaatan dana desa untuk program padat karya tunai (cash for work ). Adapun untuk memutus rantai kemiskinan, program perlindungan sosial yang direkomendasikan adalah bantuan tunai bersyarat (conditional cash transfers /CCT) yang mengharuskan penerima bantuan berpartisipasi di fasilitas pendidikan (anak usia sekolah) dan fasilitas kesehatan (balita dan ibu hamil).
Saat ini CCT andalan pemerintah adalah Program Keluarga Harapan (PKH) yang menyasar 6 juta rumah tangga sangat miskin pada 2017. Komponen bantuan diberikan terdiri dari bantuan tetap Rp500.000 per tahun dan bantuan tambahan yang nominalnya bervariasi tergantung kondisi penerima (keberadaan anak usia sekolah, balita, ibu hamil/ menyusui, penyandang disabilitas berat, dan/atau lansia di atas 70 tahun). Di Brasil, program serupa bernama Bolsa Familia menjangkau 14 juta keluarga.
Bantuan yang diberikan rata-rata 180 reais (sekitar Rp700.000) per bulan sehingga memungkinkan keluarga miskin terangkat kehidupan ekonominya di atas garis kemiskinan. Ditunjang akurasi data dan monitoring yang ketat sehingga program ini berhasil mengentaskan 20 juta orang dari kemiskinan sepanjang 2003-2009. Karena itu, penambahan sasaran PKH menjadi 10 juta rumah tangga pada 2018 patut diapresiasi. Agar efektif, penguatan akurasi data rumah tangga sasaran dan monitoring program adalah keniscayaan. Selain itu, kenaikan nominal bantuan, khususnya komponen bantuan tetap, patut dipertimbangkan.
Komentar
Posting Komentar