Langsung ke konten utama

Impor Beras Indonesia Mencapai 7 Triliuan


Dimuat di harian Bali Post (8 September 2011)

Hingga Juli, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai impor beras Indonesia pada tahun ini telah mencapai USD 829 juta atau sekitar Rp 7,04 triliun rupiah. Uang sebanyak ini digelontorkan pemerintah untuk mendatangkan sebanyak 1,57 juta ton beras dari Vietnam (892,9 ribu ton), Thailand (665,8 ribu ton), Cina (1.869 ton), India (1.146 ton), Pakistan (3,2 ribu ton), dan beberapa negara lain (3,2 ribu ton). 

Orang tentu akan menyangka impor di atas dipicu oleh produksi atau suplai beras dalam negeri yang tidak mencukupi. Sangkaan yang sudah tentu keliru, karena kenyataannya impor beras dilakukan ketika data statistik menunjukkan bahwa Indonesia surplus beras.
Badan Pusat Statistik (BPS) memperkirakan produksi padi pada tahun 2011 mencapai 68,06 juta ton gabah kering giling (GKG)─Angka Ramalan II (ARAM II). Jika dikonversi ke beras, ini artinya, pada tahun ini, produksi beras nasional sebesar 38,2 juta ton. Dan jika memperhitungkan adanya loses (kehilangan) sebesar 15 persen, maka produksi beras mencapai 37 juta ton.

Dengan asumsi bahwa konsumsi beras sebesar 139 kg/kapita/tahun dan jumlah penduduk Indonesia saat ini mencapai 237 juta orang, konsumsi beras nasional tahun ini berarti mencapai 34 juta ton−ini diperoleh dengan mengalikan konsumsi beras per kapita dan jumlah penduduk Indonesia saat ini. Dengan demikian, merujuk pada hasil hitung-hitungan tersebut, tahun ini Indonesia sebenarnya surplus beras sebesar 3-4 juta ton. Tetapi kenapa harus impor, padahal surplus? Ke mana larinya 3-4 juta ton beras itu?

Kacaunya manajemen
Jika menengok angka-angka BPS, sebenarnya sejak tahun 2008 produksi beras nasional selalu surplus. Tetapi anehnya, sejak tahun 2008 hingga kini, Impor beras terus dilakukan. Bulog selalu berdalih kalau data produksi yang ada tidak bisa dijadikan pijakan. Menurut Bulog, meskipun data yang ada menunjukkan surplus, hal itu belum bisa menjamin amannya ketersedian pasokan beras setiap bulannya, termasuk saat momen-momen seperti Ramadan dan Idul Fitri.

Kondisi di atas sebenarnya dapat diatasi, jika manajeman stok yang dilakakun Bulog selama ini bisa lebih baik. Kenyataan yang ada menunjukkan bahwa selama ini daya serap Bulog terhadap produksi beras petani seringkali tidak maksimal. Dan ini terjadi di sejumlah sentra produksi padi nasional. Hingga pertengahan Juli lalu misalnya, daya serap di sejumlah Divisi Regional (Divre) Bulog masih sekitar 20 persen. Bahkan, di Jawa Timur yang merupakan lumbung padi nasional, daya serap Bulog baru mencapai 23 persen.

Data produksi dan konsumsi beras belum akurat
Alasan Bulog bahwa data produksi yang ada belum bisa dijadikan pijakan mungkin benar juga adanya. Selama ini, penghitungan produksi beras dilakukan oleh BPS bekerjasama dengan Kementrian Pertanian. Untuk menghitung produksi beras, BPS menggunakan hasil perkalian antara produktivitas tanaman padi per hektar dan luas panen. Pengukurun produktivitas yang dilakukan oleh BPS melalui survei ubinan sebenarnya sudah cukup akurat, masalahnya adalah pada penghitungan luas panen yang dilakukan oleh Dinas Pertanian yang masih mengandalkan metode pandangan mata. Dalam prakteknya, mantri tani hanya melihat hamparan padi, lalu memperkirakan luasnya. Akurasi cara seperti ini tentu sangat lemah, belum lagi kalau data luas panen dikerjakan di atas meja.

Data konsumsi beras juga perlu diperbaiki. Kemungkinan besar data konsumsi yang ada saat ini di bawah perkiraan (underestimate), atau sebaliknya di atas perkiraan (overestimate). Angka konsumsi beras sebesar 139 kg/kapita/tahun sebenarnya bukan angka resmi dari BPS. Angka ini adalah perkiraan para ahli yang belum tentu akurat, karena penghitungan nilai riil konsumsi beras tidaklah mudah. Jika merujuk pada data BPS yang didasarkan pada Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS), konsumsi beras pada tahun ini mencapai 102 kg/kapita/tahun. Angka ini tentu underestimate, karena SUSENAS memang tidak dirancang untuk menghitung nilai konsumsi beras nasional. SUSENAS menggunakan pendekatan rumah tangga sehingga tidak bisa menangkap nilai konsumsi beras yang dilakukan oleh sektor industri, hotel dan restoran, serta rumah makan kelas menengah seperti warteg dan warung padang. Karenanya, untuk mengetahui nilai konsumsi beras yang sebenarnya dibutuhkan survei khusus untuk menangkap nilai konsumsi beras sektor-sektor tersebut di samping nilai konsumsi rumah tangga dari data SUSENAS─BPS telah melakukan sejumlah survei lapangan untuk melengkapi data SUSENAS, dan hasilnya akan dirilis tahun ini.

Mengurangi konsumsi beras
Dengan konsumsi beras mencapai 139 kg/kapita/tahun saat ini, Indonesia adalah konsumen beras terbesar di dunia. Maklum, orang Indonesia makan nasi seperti minum obat, tiga kali sehari. Bukan makan namanya kalu tanpa nasi.

Jika kebiasaan makan nasi orang Indonesia dapat dirubah, maka akan berdampak besar pada penurunan konsumsi beras. Dengan demikian, kebutuhan beras dalam negeri dapat ditekan. Karena itu, program diversifikasi pangan harus digalakkan agar masyaratkat tidak terlalu bergantung pada beras sebagai sumber karbohidrat utama─saat ini, sekitar 80 persen kebutuhan karbohidrat orang Indonesia dipenuhi dari beras.

Deawasa ini, tantangan pemenuhan kebutuhan pangan, khususnya beras, semakin berat. Swasembada beras melalui peningkatan produksi menjadi sulit dilakukan karena berbagai hal, seperti luas lahan yang semakin menyempit, tanah yang semakin tidak subur, suplai air yang tidak menentu, iklim yang sulit ditebak, sumber daya yang tidak lagi mendukung, dan tidak ada lagi pemuda yang mau jadi petani. Karena itu, mengurangi konsumsi beras adalah solusi terbaik untuk menuju swasembada, dan diversifikasi pangan adalah salah satu caranya.
****

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Produksi Padi dan Pemilihan Presiden

Dimuat di Koran Tempo, 04 Juli 2014 Ada pola yang menarik bila kita mengulik tren data produksi padi nasional selama beberapa tahun terakhir. Kenaikan produksi ternyata selalu terjadi pada tahun-tahun saat pemilihan presiden dihelat. Sebagai contoh, pada 1 Juli 2004, tiga hari menjelang pilpres putaran pertama, Badan Pusat Statistik merilis angka ramalan produksi padi nasional yang menyebutkan bahwa produksi padi pada 2004 diperkirakan mencapai 53,67 juta ton gabah kering giling, atau mengalami peningkatan sebesar 1,5 juta ton (2,93 persen) dibanding produksi pada 2003. Hal yang sama juga terjadi pada 2009. Seminggu sebelum pilpres dihelat pada 8 Juli, BPS mengumumkan bahwa produksi padi nasional pada 2009 diperkirakan mencapai 62,56 juta ton, atau naik sebesar 2,24 juta ton (3,71 persen) dibanding produksi pada 2008. Bagi sebagian kalangan, terutama yang selama ini meragukan akurasi data produksi padi/beras nasional, hal ini bukan sekadar kebetulan. Pola kenaikan tersebut dit

Subsidi untuk Keluarga Miskin

Dimuat di Koran Tempo, 21 Juli 2014 Profil kemiskinan yang dirilis Badan Pusat Statistik pada awal bulan ini (1 Juli) menyebutkan, jumlah penduduk miskin pada Maret 2014 mencapai 28,28 juta orang (11,25 persen), atau hanya berkurang 0,32 juta orang dibanding kondisi pada September 2013. Profil kemiskinan ini memberi konfirmasi mengenai dua hal. Pertama, dampak kenaikan harga bahan bakar minyak pada akhir Juni tahun lalu terhadap kehidupan masyarakat kecil cukup dalam. Ternyata, tidak sedikit dari mereka yang terjerembap ke jurang kemiskinan selepas kenaikan harga BBM dan hingga kini tetap miskin. Kedua, laju penurunan jumlah penduduk miskin terus melambat, bahkan boleh dibilang telah menyentuh titik jenuh. Hal ini menunjukkan kondisi kemiskinan yang terjadi sudah kronis (chronic poverty) serta cenderung persisten dan sulit diatasi. Mereka yang tengah bergelut dalam kemiskinan saat ini adalah penduduk dengan tingkat kapabilitas (pendidikan dan kesehatan) yang sangat rendah, tin

Tingkat Kemakmuran Indonesia Lompat 21 Peringkat

Koran Tempo, 5 Maret 2016 Kemakmuran ternyata bukan melulu soal seberapa banyak materi atau kekayaan yang dikumpulkan suatu negara. Kekayaan memang merupakan salah satu faktor penentu utama kemakmuran, tapi bukan segalanya. Dimensi kemakmuran lebih luas dari sekadar akumulasi kekayaan materi. Ia juga mencakup dimensi non-materi, seperti kegembiraan hidup dan prospek untuk membangun hidup yang lebih baik di masa mendatang. Legatum Institute, sebuah lembaga think-tank yang berkedudukan di London, mencoba membangun sebuah indikator yang diupayakan mampu mengukur sebaik mungkin kemakmuran suatu negara secara multi-dimensi. Indikator tersebut tidak hanya didasarkan pada pendapatan, tapi juga sejumlah dimensi kualitatif yang merepresentasikan kesejahteraan (well-being). Indikator yang dikembangkan tersebut dikenal sebagai Legatum Prosperity Index yang diluncurkan setiap tahun sejak 2009. Indeks tersebut merupakan indeks komposit yang mencakup 89 variabel, dari variabel klasik se