Langsung ke konten utama

Pemilihan Gubernur dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM)

Dimuat di harian Malut Post (13 April 2012)
Pemilihan Gubernur Maluku Utara (Malut) yang bakal dihelat pada tahun 2013 nanti nampaknya kian terasa gaungnya. Figur-figur calon gubernur pun mulai bermunculan dengan varian latar belakang (background) yang berbeda: birokrat, politisi, hingga akademisi. Harapan untuk masa depan Malut yang lebih baik pun menyeruak.

Sebagai salah satu provinsi yang terbilang muda–belum genap dua belas tahun–Malut membutuhkan lebih dari sekedar seorang gubernur untuk mengejar ketertinggalannya dari provinsi-provinsi lain di Indonesia. Malut membutuhkan seorang pemimpin yang tidak hanya memiliki visi yang besar untuk memajukan daerah, tetapi juga memiliki kemampuan untuk mewujudkan visi tersebut menjadi realita, melalui gebrakan-gebrakan yang tentu saja tidak biasa.

Sedikit menggembirakan
Jika menengok rekaman statistik yang ada, capaian pembangunan Malut selama ini, boleh dibilang, sedikit menggembirakan. Hal ini terindikasi melalui perkembangan indikator-indikator capaian pembangunan seperti Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), penciptaan lapangan kerja, dan angka kemiskinan.

Dalam beberapa tahun terakhir, PDRB Malut terus tumbuh secara mengesankan: rata-rata sebesar 6,3 persen per  tahun sepanjang periode 2006-2010. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, pada tahun 2006, PDRB Malut atas dasar harga berlaku mencapai 2,4 triliun, sementara pada tahun 2010 telah mencapai 5,39 triliun. Dalam konteks regional, perkembangan angka-angka PDRB–beserta pertumbuhannya–secara kasar merupakan representasi perkembangan pendapatan yang tercipta dalam perekonomian melalui berbagai kegiatan ekonomi, baik produksi maupun konsumsi.

Konsekwensi dari angka-angka PDRB yang terus tumbuh adalah meningkatnya PDRB/pendapatan per kapita yang juga merepresentasikan kemampuan daya beli masyarakat. BPS mencatat, pada tahun 2010, pendapatan per kapita Malut telah menembus angka sekitar 5 juta rupiah. Pendapatan asli daerah (PAD) yang diraup juga terus bertambah karena meningkatnya potensi pajak daerah dan bagi hasil pajak. PDRB yang terus tumbuh juga berdampak pada penciptaan lapangan kerja dan penurunan tingkat pengangguran. BPS melaporkan, selama lima tahun terakhir, secara umum tingkat pengangguran terbuka Malut–yakni mereka (angkatan kerja) yang sama sekali tidak bekerja–terus menurun secara konsisten. Pada Agustus 2006, tingkat pengangguran terbuka Malut mencapai 6,9 persen, sementara pada Agustus 2011 lalu telah mencapai 5,5 persen.

Perkembangan angka kemiskinan juga sedikit menggembirakan, terus menurun secara konsisten selama lima tahun terakhir. BPS mencatat, pada Maret 2006, jumlah penduduk miskin Malut mencapai 116,8 ribu orang atau 12,73 persen dari total penduduk Malut kala itu. Sementara itu, pada Maret 2011, menurut catatan BPS, jumlah penduduk miskin Malut sebesar  97,31 ribu orang (9,18 persen dari total penduduk). Itu artinya, dalam kurun waktu lima tahun, secara rata-rata, persentase penduduk miskin telah berkurang sebesar 0,71 persen per tahun. Namun demikian patut dicatat, pada September 2011 lalu, jumlah penduduk miskin Malut menurut laporan BPS naik menjadi 107,08 ribu orang (10 persen), atau mengalami lonjakan sebesar 9,77 ribu orang dibanding kondisi Maret 2011.

Perkembangan angka kemiskinan dari waktu ke waktu merupakan indikator sederhana untuk melihat sejauh mana pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah (pusat dan daerah) telah berdampak secara signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat yang sejatinya merupakan tujuan asasi dari pembangunan itu sendiri. Dengan demikian, membaiknya perkembangan angka kemiskinan Malut dari waktu ke waktu merupakan indikasi kuat bahwa pembangunan yang dilakukan telah berdampak terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat. Meskipun, boleh dibilang, magnitude-nya masih cukup lemah. Ini merupakan indikasi bahwa pertumbuhan ekonomi (PDRB) yang terjadi selama ini kurang memiliki keberpihakan terhadap penduduk miskin. Ditengarai, pertumbuhan yang terjadi belum dibarengi dengan pemerataan (growth equity).

IPM mengecewakan
Sayangnya, di tengah cukup menggembirakannya sejumlah indikator-indikator capaian pembangunan yang disebutkan sebelumnya, perkembangan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Malut, kalau boleh dibilang, kurang memuaskan jika dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain di Indonesia. Padahal, IPM sejatinya merupakan indikator yang paling tepat untuk menilai hasil kemajuan pembangunan yang telah dilakukan. IPM merupakan indeks komposit yang merepresentasikan sejauh mana pembangunan yang telah dilakukan berdampak terhadap peningkatan kualitas manusia–yang sejatinya merupakan objek dari pembangunan itu sendiri. Kualitas yang dimaksud mencakup dua aspek. Pertama, tingkat kapabilitas: pendidikan dan kesehatan. Kedua, kemampuan daya beli (kesejahteraan).

BPS mencatat, sepanjang periode 2004–2010, IPM Malut terus mengalami kenaikan secara konsisten. Namun sayangnya, kenaikan yang terjadi, kalau boleh dibilang, berlangsung lambat. Kenaikan IPM dari waktu ke waktu sebenarnya hampir dipastikan bakal terjadi pada setiap provinsitermasuk Malutseiring peningkatan pada komponen-komponen penyusun IPM, yakni tingkat kapabilitas dan kemampuan daya beli. Yang menjadi soal utama sebetulnya adalah seberapa besar dan cepat peningkatan itu terjadi. Terkait hal ini, capaian Malut kurang memuaskan. Data BPS menunjukkan, sepanjang periode 2002–2010 skor IPM Malut hanya mengalami penambahan sebesar 3,23 poin, relatif lambat bila dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain di Indonesia. Hal ini mengakibatkan perkembangan ranking IPM Malut secara nasional, kalau boleh dibilang, cukup miris. Pada tahun 2002, dengan skor IPM sebesar 65,8 poin, Malut menduduki ranking 19 dari 30 provinsi yang ada. Sementara pada tahun 2010, meskipun skor IPM telah meningkat menjadi 69,03 poin, ranking Malut justru terjun bebas, yakni menempati posisi ke-30 dari 33 provinsi.
Memacu IPM
Perkembangan IPM yang masih kurang memuaskan, saya kira, merupakan tantangan nyata bagi setiap calon Gubernur Malut nantinya. Potensi untuk memacu skor IPM sebetulnya sangat terbuka lebar. Fokus harus diarahkan pada upaya peningkatan komponen-komponen penyusun IPM. Untuk komponen kasehatan yang direpresentasikan dengan angka umur harapan hidup, fokus harus diarahkan pada upaya meminimalisir risiko kematian penduduk. Diketahui, tingkat kematian tertinggi terjadi pada kelompok bayi. Data BPS menunjukkan, di Malut, sekitar 56 kematian terjadi untuk setiap 1.000 kelahiran hidup (SDKI, 2007). Angka ini tentu saja masih tinggi, bahkan boleh dibilang termasuk salah satu yang tertinggi di Indonesia. Karenanya, perbaikan dan peningkatan kualitas pelayanan kesehatan untuk menekan angka kematian bayi secara berarti adalah kunci untuk mendongkrak skor IPM melalui komponen kesehatan. Untuk komponen pendidikan yang direpresentasikan dengan angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah (mean year schooling), fokus harus diarahkan pada upaya perbaikan dan peningkatan kualitas pendidikan.

Sebetulnya, upaya memacu skor IPM melalui peningkatan komponen kesehatan dan pendidikan bukanlah hal yang mudah. Untuk meningkatkan angka harapan hidup sebesar satu poin, misalnya, hanya bisa dicapai jika selama satu tahun tidak ada satu pun penduduk Malut yang meninggal dunia, sesuatu yang hampir dipastikan tidak akan terwujud. Begitu pula dengan komponen pendidikan, untuk provinsi yang memiliki angka melek huruf di atas 90 persen dan angka partisipasi sekolah di atas 40 persen di hampir setiap kelompok umur seperti Malut, kontribusi komponen pendidikan dalam memacu skor IPM secara berarti merupakan sesuatu yang sulit diharapkan.  

Harapan untuk meningkatkan skor IPM secara signifikan sebetulnya ada pada komponen ketiga, yakni kemampuan daya beli. Kontribusi komponen ini terhadap kenaikan IPM bakal semakin berlipat seiiring meningkatnya kesejahteraan masyarakat sebagai dampak dari pertumbuhan ekonomi–yang dibarengi dengan pemerataan, tentunya. Karenanya, menggenjot pertumbuhan ekonomi (PDRB) merupakan kunci utama. Terkait hal ini, peran Pemerintah Daerah (Pemda) sangat penting sebagai stimulator. Di era otonomi daerah seperti saat ini, ruang bagi Pemda kian terbuka lebar untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi regional. Pemda dituntut jeli melihat potensi yang dimiliki daerahnya, serta kreatif dan mampu mengembangkan potensi tersebut sebagai motor penggerak pertumbuhan ekonomi regional.

Untuk Malut, potensi menggenjot pertumbuhan ekonomi masih sangat terbuka lebar. Ditengarai, pertumbuhan ekonomi Malut selama ini masih di bawah potensi yang sesungguhnya (under perform). Pertumbuhan ekonomi yang terjadi seharusnya bisa lebih tinggi lagi, mengingat provinsi ini sejatinya kaya akan potensi sumber daya alam. Investasi perlu lebih digalakkan dan kontribusi sektor-sektor unggulan (leading sector)–perikanan dan perkebunan, misalnya–sebagai motor penggerak pertumbuhan ekonomi harus terus dipacu. Ini tentu bukan perkara yang mudah. Karenanya, terkait Pemilihan Gubernur pada 2013 nanti, Malut butuh sosok pemimpin yang tidak biasa (leader not as usual), pemimpin yang punya gebrakan, kreatif, dan kaya inovasi dalam mengelola potensi Malut yang sejatinya kaya. Absennya seorang pemimpin seperti ini di 2013 nanti, dapat dipastikan, akan membuat Malut kian sulit mensejajarkan diri dengan provinsi-provinsi lain di Indonesia yang terus bergerak maju, khususnya dalam hal capaian kualitas pembangunan manusia. (*)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Subsidi untuk Keluarga Miskin

Dimuat di Koran Tempo, 21 Juli 2014 Profil kemiskinan yang dirilis Badan Pusat Statistik pada awal bulan ini (1 Juli) menyebutkan, jumlah penduduk miskin pada Maret 2014 mencapai 28,28 juta orang (11,25 persen), atau hanya berkurang 0,32 juta orang dibanding kondisi pada September 2013. Profil kemiskinan ini memberi konfirmasi mengenai dua hal. Pertama, dampak kenaikan harga bahan bakar minyak pada akhir Juni tahun lalu terhadap kehidupan masyarakat kecil cukup dalam. Ternyata, tidak sedikit dari mereka yang terjerembap ke jurang kemiskinan selepas kenaikan harga BBM dan hingga kini tetap miskin. Kedua, laju penurunan jumlah penduduk miskin terus melambat, bahkan boleh dibilang telah menyentuh titik jenuh. Hal ini menunjukkan kondisi kemiskinan yang terjadi sudah kronis (chronic poverty) serta cenderung persisten dan sulit diatasi. Mereka yang tengah bergelut dalam kemiskinan saat ini adalah penduduk dengan tingkat kapabilitas (pendidikan dan kesehatan) yang sangat rendah, tin

Produksi Padi dan Pemilihan Presiden

Dimuat di Koran Tempo, 04 Juli 2014 Ada pola yang menarik bila kita mengulik tren data produksi padi nasional selama beberapa tahun terakhir. Kenaikan produksi ternyata selalu terjadi pada tahun-tahun saat pemilihan presiden dihelat. Sebagai contoh, pada 1 Juli 2004, tiga hari menjelang pilpres putaran pertama, Badan Pusat Statistik merilis angka ramalan produksi padi nasional yang menyebutkan bahwa produksi padi pada 2004 diperkirakan mencapai 53,67 juta ton gabah kering giling, atau mengalami peningkatan sebesar 1,5 juta ton (2,93 persen) dibanding produksi pada 2003. Hal yang sama juga terjadi pada 2009. Seminggu sebelum pilpres dihelat pada 8 Juli, BPS mengumumkan bahwa produksi padi nasional pada 2009 diperkirakan mencapai 62,56 juta ton, atau naik sebesar 2,24 juta ton (3,71 persen) dibanding produksi pada 2008. Bagi sebagian kalangan, terutama yang selama ini meragukan akurasi data produksi padi/beras nasional, hal ini bukan sekadar kebetulan. Pola kenaikan tersebut dit

Kemiskinan Kronis

Dimuat di Koran Tempo, 26 September 2015                Statistik kemiskinan yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada 15 September lalu memberi konfirmasi bahwa kenaikan harga BBM pada akhir 2014 dan perlambatan ekonomi pada awal tahun ini berdampak signifikan terhadap peningkatan kemiskinan. Kombinasi keduanya sangat telak memukul daya beli masyarakat kecil akibat kenaikan harga-harga bahan kebutuhan pokok dan berkurangnya kesempatan kerja. BPS melaporkan bahwa jumlah penduduk miskin pada Maret 2015 mencapai 28,59 juta orang atau bertambah sebanyak 0,86 juta orang dibanding September 2014. Tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan juga mengalami peningkatan. BPS mencatat, indeks kedalaman kemiskinan (poverty gap index) pada Maret 2015 mencapai 1,97 atau meningkat dibanding September 2014 yang sebesar 1,75. Sementara itu, indeks keparahan kemiskinan (poverty severity index) juga naik dari 0,44 pada September 2014 menjadi 0,54 pada Maret 2015. Hal tersebut menunjukkan bahw