dimuat di Harian Waspada Medan (27 Maret 2012) dan Malut Post (28 Maret 2012)
Gelombang penolakan terhadap rencana pemerintah untuk menaikkan
harga BBM pada 1 April nanti nampaknya kian kuat dan masif, terjadi di
mana-mana, di hampir semua kalangan. Hasil survei yang dirilis Lingkaran Survei
Indonesia (LSI) baru-baru lalu, misalnya, menunjukkan bahwa 80 persen responden
menolak rencana pemerintah itu. Menariknya, penolakan juga berasal dari para
pendukung partai penguasa.
Di ranah politik, isu kainaikan harga BBM nampaknya tengah
dipolitisasi. Ada kekhawatiran di kalangan partai penguasa bahwa penolakan
terhadap rencana kenaikan harga BBM oleh sejumlah kalangan, utamanya pihak
oposisi, yang berkembang saat ini telah mengarah pada kampanye hitam (black campaign) untuk menggoyang
pemerintahan saat ini.
Sejatinya, kebijakan menaikkan harga BBM sama sekali tidak
populis. Sebisa mungkin, kebijakan seperti ini seharusnya dihindari, mengingat
eksesnya yang sangat luas secara ekonomi dan sosial. Jika BBM naik, dapat
dipastikan akan memacu inflasi. Harga-harga barang dan jasa bakal naik sehingga
daya beli penduduk akan jatuh.
Masyarakat yang dalam menjalankan aktivitis sehari-hari
menggunakan BBM, seperti nelayan, petani, dan para penggiat transportasi umum
diperkirakan akan terpuruk secara ekonomi akibat dampak langsung yang diterima.
Pendapatan mereka akan berkurang, dan di sisi lain pengeluaran mereka justru
bertambah karena meningkatnya harga-harga barang dan jasa yang dikonsumsi.
Beban ekonomi, sebagai akibat dari kenaikan harga BBM, tentu
akan sangat dirasakan oleh kelompok penduduk miskin (poor) dan hampir
miskin (near poor). Pengalaman pada 2005 lalu menunjukkan, kebijakan
menaikkan harga BBM yang memacu inflasi kian memperparah kondisi ekonomi kedua
kelompok ini.
BPS mencatat, pada tahun 2006, indeks kedalaman dan keparahan
kemiskinan mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Kenaikan kedua indeks ini
merupakan indikasi kian memburuknya kondisi ekonomi penduduk miskin kala itu.
Naiknya harga BBM sebanyak dua kali sepanjang 2005 (1 Maret dan 1 Oktober)
rupanya telah memukul telak daya beli penduduk miskin kala itu. Walhasil,
kondisi kemiskinan kian parah dan semakin dalam.
BPS juga mencatat, pada tahun 2006, jumlah penduduk miskin
mengalami lonjakan sebesar 4,2 juta orang dibanding tahun 2005. Dan, mudah
untuk diduga, mereka yang jatuh miskin itu adalah penduduk hampir miskin yang
terkena dampak kenaikan harga BBM. Dengan pengeluaran per kapita per bulan
sedikit di atas garis kemiskinan, penduduk hampir miskin tak mampu bertahan
melawan gempuran inflasi yang telah menembus angka 17,11 persen pada tahun
2005. Walhasil, seperti halnya penduduk miskin, daya beli mereka jatuh, dan 4,2
juta orang di antaranya terseret ke jurang kemiskinan.
Memburuknya kondisi ekonomi penduduk miskin dan hampir miskin
sepanjang tahun 2005-2006 diperkirakan bakal semakin parah jika pemerintah
tidak memberikan kompensasi berupa santunan langsung tunai (SLT) sebesar
Rp100.000,- kepada 19,1 juta rumah tangga pada tahun 2005.
Sayangnya, kompensasi hanya diberikan selama tiga bulan, padahal
BBM naik sebanyak dua kali. Ditambah lagi dengan adanya kebocoran─salah
sasaran─dalam penyaluran dana kompensasi di lapangan: banyak penduduk miskin
yang justru tidak menerima dana kompensasi. Waktu yang singkat dan terjadinya
kebocoran menjadikan jumlah penduduk miskin melonjak, serta kondisi kemiskinan
kian parah dan dalam. Hal yang sama dikhawatirkan juga bakal terjadi tahun ini.
Harga minyak dunia dan
defisit APBN
Kebijakan untuk menaikkan harga BBM pada tahun 2005 dipicu oleh
naiknya harga minyak mentah dunia kala itu. Dan, inilah juga yang menjadi
alasan pemerintah untuk menaikkan harga BBM pada 1 April nanti.
Saat ini, harga minyak dunia terus bergerak naik, telah jauh
melampaui asumsi harga minyak mentah dunia dalam APBN, yakni sebesar 90 dolar
AS per barel. Saat ini, secara rata-rata, harga minyak mentah dunia telah
menembus angka 110 dolar AS per barel (Antara, 16/03/2012). Harga minyak dunia
diperkirakan bakal terus naik akibat krisis Iran yang sepertinya kian memburuk.
Padahal, diketahui, porsi APBN yang dianggarkan untuk subsidi
BBM tidaklah sedikit. Konsekwensinya sangat jelas, yakni membengkaknya defisit APBN. Jika
langkah menaikkan harga BBM tidak segera diambil untuk memangkas belanja
negara, devisit yang terjadi dikhawatirkan bisa di atas 3 persen, bahkan bisa
mencapai 4 persen lebih menurut sejumlah kalangan. Situasi yang sudah barang
tentu cukup gawat dan tidak menyehatkan bagi keuangan negara.
Karenanya, kita harus maklum, saat ini Pemerintah tengah
dihadapkan pada situasi yang sulit. Kebijakan untuk menaikkan harga BBM mau
tidak mau harus diambil untuk menyelamatkan keuangan negara, meskipun tidak
populis dengan segala konsekwensinya.
Catatan untuk Pemerintah
Namun, ada sejumlah catatan yang harus diperhatikan oleh Pemerintah
jika harga BBM jadi dinaikkan. Pertama, pemerintah harus bisa menjamin dampak
inflasi yang terjadi dapat dikelola dengan baik (manageable), dalam hal
ini inflasi yang terjadi harus diupayakan tidak lebih dari 5,3 persen. Ada
kemungkinan harga-harga kebutuhan pokok bakal melambung tinggi jauh melebihi
kewajaran jika Pemeintah tidak sigap.
Kedua, pemberian kompensisi kepada kelompok penduduk yang
terkena dampak (penduduk miskin dan hampir miskin) mutlak dilakukan, tentunya
dengan sejumlah perbaikan: varian jenis kompensasi yang diberikan harus
diperluas, dan diupayakan lebih tepat sasaran (kebocoran seminimal mungkin).
Salah satu bentuk kompensasi yang hampir pasti diberikan
pemerintah jika harga BBM jadi dinaikkan adalah bantuan tunai (unconditional cash transfer) serupa BLT
yang kini berubah nama menjadi Bantuan Langsung Masyarakat Sementara (BLSM). Kabarnya,
sebagaimana yang disampaikan oleh Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
(Bappenas) Armida S Alisjahbana, jumlah rumah tangga penerima BLSM pada tahun
ini mencapai 18,5 juta rumah tangga, yang merupakan 30 persen rumah tangga
kelompok ekonomi terbawah hasil Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS)
yang dilaksanakan BPS pada 2011 lalu. Rumah tangga penerima BLSM nantinya
mencakup rumah tangga sangat miskin, miskin, dan hampir miskin (Kompas.com,
13/03/2012).
Kabarnya pula, besaran BLSM yang akan diterima setiap rumah
tangga sebesar Rp.150.000,- per bulan selama sembilan bulan. Penyalurannya
melalui kantor pos dan akan dirapel setiap tiga bulan. Dengan demikian, dana
BLSM yang diterima setiap rumah tangga sebesar Rp450.000,- untuk setiap tiga
bulan (Kompas.com, 13/03/2012).
Terkait data rumah tangga sasaran (RTS) penerima BLSM, saya kira
perlu dilakukan semacam uji publik oleh BPS bersama aparat desa/kecamatan
terhadap keakuratan data tersebut. BPS harus terbuka perihal data daftar RTS.
Data tersebut sudah harus segera dirilis dan dikoordinasikan dengan aparat
desa/kecamatan sebelum BLSM disalurkan.
Hal ini dimaksudkan agar rumah tangga yang sebetulnya tidak
layak menerima BLSM dapat dikeluarkan dari daftar RTS, dan membuka kesempatan
bagi rumah tangga yang sebetulnya layak menerima bantuan tapi gagal
terjaring saat pendataan sehingga dapat dimasukkan ke dalam daftar RTS. Dengan
demikian, terjadinya kebocoran atau salah sasaran seperti yang lalu-lalu dapat
diminimalisir.
Ketiga, dana yang terhimpun dari selisih harga (wind wall
profit) harus digunakan pemerintah untuk membiayayai program-program
pemerintah yang bertalian langsung dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat:
program-program jaring-jaring pengaman sosial (social safety nets) dan pembangunan
infrastruktur, baik infrastruktur penunjung aktivitas ekonomi untuk menggenjot
pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja maupun infrastruktur
pelayanan publik di bidang pendidikan dan kesehatan guna meningkatkan
kapabilitas penduduk.
Saya yakin dengan menjalankan sejumlah catatan di atas, dampak
kenaikan harga BBM dapat diredam, dan apa yang terjadi pada tahun 2005 lalu tidak
akan terulang. (*)
Komentar
Posting Komentar