Langsung ke konten utama

Sinyal Buruk dari Sektor Pertanian

Dimuat di Harian Waspada Medan (14 April 2012)


Statistik (baca: data) Nilai Tukar Petani (NTP) yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) dalam tiga bulan terakhir sedikit mengkhawatirkan. Pasalnya, sepanjang periode Januari 2012 –Maret 2012, BPS mencatat: nilai NTP nasional terus merosot. Ini merupakan ‘sinyak buruk’,  indikasi bahwa tingkat kesejahteraan petani dan nelayan negeri ini─yang sebagain besar hidup di bawah garis kemiskinan─secara umum terus merosot dalam tiga bulan terakhir.

BPS mencatat, pada Januari 2012, nilai NTP nasional sebesar 105,73, mengalami penurunan sebesar 0,02 persen dibanding Desember 2011. Sementara itu, pada Februari 2012, nilai NTP nasional sebesar 105,10, atau mengalami penurunan sebesar 0,6 persen dibanding Januari 2012. Penurunan terus berlanjut hingga Maret lalu. BPS mencatat, nilai NTP nasional bulan lalu sebesar 104,68, atau mengalami penurunan sebesar 0,40 persen dibanding bulan sebelumnya. Jika ditelaah lebih jauh, penyumbang terbesar penurunan NTP nasional selama tiga bulan terakhir adalah subsektor tanaman pangan (padi dan palawija), hortikultura, dan perikanan (tangkap dan budidaya).

Ditengarai, penyebab penurunan tersebut adalah pendapatan petani dan nelayan yang terus merosot, sementara pengeluaran mereka untuk konsumsi sehari-hari serta biaya produksi dan penambahan barang modal justru terus meningkat.

Mengecewakan
Terlepas dari transformasi struktur ekonomi yang kian mengantarkan negeri ini menuju negara industri, bahkan jasa, peran penting dan strategis sektor pertanian (mencakup subsektor tanaman bahan makanan, perkebunan, peternakan, perikanan dan kehutanan) bagi perekonomian nasional adalah sebuah proposisi yang tak terbantahkan. Jika melihat kontribusinya terhadap pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB), misalnya, sektor ini masih merupakan salah satu leading sector, nomor dua setelah industri pengolahan. BPS melaporkan: dari Rp7.427,1 triliun nilai tambah atau PDB yang yang tercipta pada tahun 2011 lalu, sekitar Rp1.093,5 triliun atau 14,7 persen di antaranya disumbang oleh sektor pertanian.

Peran penting dan strategis sektor pertanian bagi perekonomian juga ditunjukkan melalui penyerapan tenaga kerja. Meskipun kontribusinya terhadap pembentukan PDB secara umum terus menurun secara konsisten sejak dekade 80-an–saat dimulainya industrialisasi di Indonesia–sektor ini tetap menjadi tumpuan hidup bagi sebagian besar angkatan kerja (yang bekerja), terutama di wilayah perdesaan. BPS mencatat: dari sekitar 109,67 juta orang angkatan kerja yang bekerja pada Agustus 2011 lalu, sekitar 39,33 juta orang atau 36 persen di antaranya bekerja di sektor pertanian.

Fakta bahwa sebagian besar angkatan kerja kita menggantungkan hidupnya di sektor pertanian sangat erat kaitannya dengan persoalan kemiskinan yang tengah menghimpit negeri ini. Diketahui, di indonesia, kemiskinan merupakan fenomena perdesaan, lebih khusus lagi pertanian, mengingat sebagian besar penduduk miskin tinggal di daerah perdesaan dan bekerja di sektor pertanian, baik sebagai petani maupun buruh tani. BPS mencatat: dari 28,89 juta penduduk miskin pada September 2011 lalu, 18,94 juta orang atau 63,4 persen di antaranya tinggal di wilayah perdesaan, dan mudah untuk diduga bahwa sebagian besar mereka adalah petani dan buruh tani. Karenanya, baik atau buruknya kinerja sektor pertanian merupakan kunci utama bagi keberhasilan negeri ini dalam mengentaskan kemiskinan.

Sayangnya, kinerja sektor pertanian dalam beberapa tahun belakangan ini boleh dibilang mengecewakan. Di awal-awal masa pemerintahan SBY, semangat untuk menyegarkan kembali vitalitas sektor pertanian yang telah lama loyo memang sempat menyeruak. Kala itu, SBY mencanangkan yang namanya strategi revitalisasi pertanian sebagai bagian dari konsep strategi tiga jalur (triple track strategy) untuk membangun ekonomi Indonesia. Lewat strategi ini, sektor pertanian diharapkan dapat tumbuh secara mengesankan sehingga dapat berkontribusi secara maksimal terhadap pengurangan angka kemiskinan, khususnya di wilayah perdesaan.

Namun, seiring berjalannya waktu, strategi yang dicanangkan di Waduk Jati Luhur, Jawa Barat, pada Juni 2005 itu, kenyataannya hanya garang pada tataran wacana  dan retorika belaka. Kinerja sektor pertanian kenyataannya tetap loyo. Betapa tidak. Sejak tahun 2007 hingga kini, negara yang katanya agraris ini terus mengalami defisit perdagangan komoditas pangan yang kian hari kian menganga. Pada tahun 2010, misalnya, defisit perdagangan pangan Indonesia telah menembus angka 1,4 miliar dolar AS. Itu artinya, selama ini kita lebih banyak mengimpor pangan dari luar negeri ketimbang mengekspornya. Alhasil, saat ini kita harus menerima kenyataan sebagai salah satu negara importir komoditas pangan tropis (mentah dan olahan) terbesar di dunia. Kenyataan yang sudah barang tentu sangat miris untuk sebuah negara yang sekitar 100 juta hektar–dari 188,2 juta hektar–luas daratannya secara biofisik (fisiografi, bentuk wilayah, lereng, dan iklim) sangat cocok untuk kegiatan pertanian.

Perkembangan tingkat kesejahteraan petani dan buruh tani yang  jauh dari menggembirakan juga merupakan indikasi loyonya kinerja sektor pertanian selama ini. Setidaknya ada dua indikator yang menunjukkan hal itu, yakni perkembangan nilai NTP dan upah riil buruh tani. Dengan menggunakan series data bulanan yang dirilis BPS sepanjang Januari 2008-Maret 2012, diperoleh kesimpulan bahwa pergerakan nilai NTP cenderung stagnan. Begitu pula dengan nilai upah riil buruh tani, juga stagnan, bahkan cenderung mengalami penurunan. Ini merupakan inidikasi kuat bahwa selama ini daya beli (tingkat kesejahteraan) petani dan buruh tani sebetulnya tidak banyak berubah.

Lambat berkurang
Nampaknya, inilah yang menjadi sebab utama penurunan angka kemiskinan begitu sulit menembus angka di bawah 10 persen sebagaimana yang diidam-idamkan oleh pemerintah, bahkan menunjukkan gejala kian melambat. Diketahui, sejak tahun 2008, laju penurunan tingkat kemiskinan menunjukkan gejala perlambatan, secara rata-rata kurang dari satu persen per tahun. BPS mencatat: sepanjang periode Maret 2008-Maret 2011 persentase penduduk miskin hanya berkurang sebesar 2,93 persen, atau 0,98 persen per tahun.

Karena sebagian besar penduduk miskin tinggal di perdesaan dan menggantungkan hidupnya di sektor pertanian, sedikitnya ada tiga hal yang harus menjadi fokus perhatian pemerintah untuk keluar dari jebakan melambatnya laju penurunan jumlah penduduk miskin dan mendorong percepatan pengentasan kemiskinan ke depannya.

Pertama, pembangunan sektor pertanian-perdesaan yang tangguh, yang tidak hanya difokuskan pada upaya menggenjot produksi pangan semata, tetapi juga pada pengembangan komoditas-komoditas pertanian bernilai jual tinggi dan berorientasi ekspor. Selaras dengan itu, distribusi penguasaan lahan juga harus diperbaiki, dan reforma agraria adalah solusinya.

Kedua, pengembangan sektor nonpertanian-perdesaan, khususnya sektor-sektor yang memiliki kaitan (linkage) ekonomi yang kuat dengan sektor pertanian, misalnya, industri yang dapat meningkatkan nilai tambah komoditas pertanian yang dihasilkan petani (agribisnis). Pengembangan sektor nonpertanian-perdesaan akan memberikan peluang-peluang ekonomi baru bagi penduduk miskin perdesaan sehingga tidak hanya bergantung pada ekonomi usaha tani. Ketiga, pembangunan infrastruktur wilayah perdesaan untuk meningkatkan aksesibilitas dan kapabilitas penduduk miskin perdesaan.

Selain itu, terus merosotnya nilai NTP selama tiga bulan terakhir seharusnya menjadi ‘sinyal buruk’ yang menyadarkan pemerintah: kesejahteraan sebagian besar petani dan buruh tani (bagian terbesar dari penduduk miskin negeri ini) belum memuaskan. Sektor pertanian harus terus dipacu. (*)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Produksi Padi dan Pemilihan Presiden

Dimuat di Koran Tempo, 04 Juli 2014 Ada pola yang menarik bila kita mengulik tren data produksi padi nasional selama beberapa tahun terakhir. Kenaikan produksi ternyata selalu terjadi pada tahun-tahun saat pemilihan presiden dihelat. Sebagai contoh, pada 1 Juli 2004, tiga hari menjelang pilpres putaran pertama, Badan Pusat Statistik merilis angka ramalan produksi padi nasional yang menyebutkan bahwa produksi padi pada 2004 diperkirakan mencapai 53,67 juta ton gabah kering giling, atau mengalami peningkatan sebesar 1,5 juta ton (2,93 persen) dibanding produksi pada 2003. Hal yang sama juga terjadi pada 2009. Seminggu sebelum pilpres dihelat pada 8 Juli, BPS mengumumkan bahwa produksi padi nasional pada 2009 diperkirakan mencapai 62,56 juta ton, atau naik sebesar 2,24 juta ton (3,71 persen) dibanding produksi pada 2008. Bagi sebagian kalangan, terutama yang selama ini meragukan akurasi data produksi padi/beras nasional, hal ini bukan sekadar kebetulan. Pola kenaikan tersebut dit

Subsidi untuk Keluarga Miskin

Dimuat di Koran Tempo, 21 Juli 2014 Profil kemiskinan yang dirilis Badan Pusat Statistik pada awal bulan ini (1 Juli) menyebutkan, jumlah penduduk miskin pada Maret 2014 mencapai 28,28 juta orang (11,25 persen), atau hanya berkurang 0,32 juta orang dibanding kondisi pada September 2013. Profil kemiskinan ini memberi konfirmasi mengenai dua hal. Pertama, dampak kenaikan harga bahan bakar minyak pada akhir Juni tahun lalu terhadap kehidupan masyarakat kecil cukup dalam. Ternyata, tidak sedikit dari mereka yang terjerembap ke jurang kemiskinan selepas kenaikan harga BBM dan hingga kini tetap miskin. Kedua, laju penurunan jumlah penduduk miskin terus melambat, bahkan boleh dibilang telah menyentuh titik jenuh. Hal ini menunjukkan kondisi kemiskinan yang terjadi sudah kronis (chronic poverty) serta cenderung persisten dan sulit diatasi. Mereka yang tengah bergelut dalam kemiskinan saat ini adalah penduduk dengan tingkat kapabilitas (pendidikan dan kesehatan) yang sangat rendah, tin

Tingkat Kemakmuran Indonesia Lompat 21 Peringkat

Koran Tempo, 5 Maret 2016 Kemakmuran ternyata bukan melulu soal seberapa banyak materi atau kekayaan yang dikumpulkan suatu negara. Kekayaan memang merupakan salah satu faktor penentu utama kemakmuran, tapi bukan segalanya. Dimensi kemakmuran lebih luas dari sekadar akumulasi kekayaan materi. Ia juga mencakup dimensi non-materi, seperti kegembiraan hidup dan prospek untuk membangun hidup yang lebih baik di masa mendatang. Legatum Institute, sebuah lembaga think-tank yang berkedudukan di London, mencoba membangun sebuah indikator yang diupayakan mampu mengukur sebaik mungkin kemakmuran suatu negara secara multi-dimensi. Indikator tersebut tidak hanya didasarkan pada pendapatan, tapi juga sejumlah dimensi kualitatif yang merepresentasikan kesejahteraan (well-being). Indikator yang dikembangkan tersebut dikenal sebagai Legatum Prosperity Index yang diluncurkan setiap tahun sejak 2009. Indeks tersebut merupakan indeks komposit yang mencakup 89 variabel, dari variabel klasik se