Langsung ke konten utama

‘Drama’ Kenaikan Harga BBM


Dimuat di Harian Malut Post (14 April 2012)

Sidang Paripurna DPR terkait rencana kenaikan harga BBM beberapa waktu lalu menyuguhkan ‘drama’ yang, kalau boleh dibilang, cukup seru. Di luar gedung DPR, ribuan massa yang datang dari berbagai elemen (sebagian besar mahasiswa) seolah tak henti-hentinya berorasi menyerukan penolakan terhadap rencana Pemerintah, yang katanya bakal menyengsarakan rakyat kecil itu. Bagi mereka, harga BBM yang tak boleh naik satu rupiah pun adalah sebuah harga mati.

Apa yang terjadi di dalam gedung DPR tidak kalah serunya. Lobi-lobi politik berlangsung alot, dan meruncing pada dua opsi. Pertama, harga BBM tidak boleh dinaikkan. Kedua, memberi ruang kepada Pemerintah untuk menaikkan harga BBM jika harga rata-rata minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP) dalam kurun waktu berjalan (enam bulan) mengalami kenaikan lebih dari 15 persen dari harga rata-rata ICP yang diasumsikan dalam APBN Perubahan Tahun Anggaran 2012. Opsi kedua ini termanifestasi melalui hadirnya tambahan ayat 6a pada pasal 7 Undang-Undang APBN. Sidang yang diwarnai rentetan interupsi, serta walk out fraksi PDI-P dan Hanura itu pun akhirnya–lewat voting–secara bulat memutuskan untuk mensahkan pasal 7 ayat 6a yang intinya memberi ruang kepada Pemerintah untuk menaikkan harga BBM sewaktu-waktu jika syarat yang disebutkan di atas terpenuhi.

Harus naik
Terlepas dari proses politik yang berlangsung seru itu, harga BBM sejatinya memang harus naik. Tanpa hadirnya tambahan ayat 6a pun, yang menurut sejumlah kalangan merupakan hasil akrobat politik fraksi-fraksi anggota koalisi untuk memuluskan rencana Pemerintah menaikkan harga BBM, galibnya harga BBM harus naik. Kondisi dewasa ini tidak seperti dekade 80-an, kala kita masih menjadi negara kaya minyak. Masa-masa jaya itu telah lewat. Saat ini, kita harus menerima kenyataan bahwa produksi minyak nasional terus menyesut, tak mampu lagi mengimbangi permintaan minyak dalam negeri yang terus bertambah seiiring perekonomian negeri ini yang terus tumbuh dan bergerak maju. Mau tidak mau, saat ini, kita harus membeli (mengimpor) minyak dari luar negeri, dengan harga minyak mentah dunia di pasar internasional sebagai banchmark, tentunya.

Jika dicermati, keputusan untuk menaikkan harga BBM sebetulnya bukan hanya terkait dengan membengkaknya devisit APBN sehingga berpotensi melewati ambang batas 3 persen sebagaimana yang digariskan undang-undang. Hakekat persoalannya bukan itu. Tapi, beban subsidi yang sejatinya telah menguras APBN sehingga berdampak pada terbatasnya anggaran yang bisa dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur, mendanai program-program pengentasan kemiskinan (jaring-jaring pengaman sosial/social savety nets), subsidi kesehatan dan pendidikan, serta program-program pemerintah yang berpihak pada kalangan tak mampu lainnya.

Diketahui, pada tahun anggaran 2011 lalu, belanja pemerintah untuk membiayayai subsidi energi (BBM dan listrik) mencapai Rp255,2 triliun. Rinciannya: subsidi BBM sebesar Rp165,5 triliun dan subsidi listrik sebesar Rp90 triliun. Padahal, pada saat yang sama, dana yang dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur hanya mencapai Rp125,6 triliun, bantuan sosial sebesar Rp70,9 triliun, dan subsidi kesehatan hanya sebesar Rp43,8 triliun (Kompas.com, 23/03/2012).

Lebih dari itu, beban subsidi yang menguras APBN itu kenyataannya lebih banyak dinikmati kalangan mampu, alias salah sasaran. Pasalnya, sifat dari subsdi BBM itu sendiri adalah subsidi harga sehingga bisa dinikmati semua kalangan. Padahal kenyataannya, sebagian besar pengguna BBM bersubsidi adalah kalangan mampu, yakni para pemilik kendaraan bermotor: mobil dan sepeda motor. Diketahui, dari 37,7 juta rumah tangga pemilik sepeda motor di Indonesia, hanya 2,6 juta di antaranya yang termasuk kategori miskin. Sementara itu, dari 4,6 juta rumah tangga yang memiliki mobil, hanya 25 ribu di antaranya yang terkategori miskin (Vivanews, 23/03/2012).

Yang menikmati subsidi BBM sejatinya adalah penduduk perkotaan, bukan penduduk perdesaan. Padahal, data BPS menunjukkan, sebagian besar penduduk miskin terdapat di daerah perdesaan. Pada September 2011 lalu, misalnya, BPS melaporkan bahwa dari 29,89 juta penduduk miskin, sebanyak 63,4 persen di antaranya tinggal di daerah perdesaan. Mudah untuk diduga, sebagian besar mereka berasal dari rumah tangga yang tidak memiliki kendaraan bermotor: sepeda motor, apalagi mobil.

Karenanya, dalam perspektif jangka panjang, harga BBM harus dinaikkan. Bahkan, subsidi BBM sejatinya harus dicabut. Jika negeri ini tidak ingin dipusingkan dengan harga BBM, satu-satunya solusi adalah meninggalkan BBM dan beralih ke sumber energi lain, misalnya, listrik, air, gas, dan batu bara. Jika demikian, konsekwensinya harus ada program terkait pengembangan sumber energi alternatif. Namun, persoalannya kemudian, bagaimana membiaya program-program itu jika dana yang tersedia sangat terbatas karena sebagian besarnya habis digunakan untuk membiayayai subsidi BBM?

Sejatinya untuk rakyat
Alasan yang selalu disampaikan oleh mereka yang menolak rencana pemerintah menaikkan harga BBM adalah soal dampaknya yang akan memicu inflasi dan memukul telak daya beli masyarakat kecil. Jumlah penduduk miskin dikhawatirkan akan melonjak dan kondisi kemiskinan yang terjadi bakal semakin parah dan dalam. Semua itu memang keniscayaan yang tidak bisa dimungkiri jika harga BBM jadi dinaikkan. Tapi, bukan berarti Pemerintah tinggal diam. Terkait perlindungan terhadap daya beli masyarakat kecil yang terkena dampak, misalnya, pemerintah telah menyiapkan dana kompensasi sebesar Rp25 triliun yang akan diberikan kepada sekitar 18,5 juta rumah tangga miskin dan hampir miskin melalui program Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) jika harga BBM jadi dinaikkan.

Selain itu, terkait dampak inflasi yang terjadi, sebetulnya bakal lebih dirasakan oleh penduduk perkotaan, bukan penduduk perdesaan. Karena sejatinya, inflasi merepresentasikan perkembangan harga-harga barang dan jasa di daerah perkotaan, bukan di daerah perdesaan. Para petani dan nelayan yang dalam menjalankan kegiatan usahanya memakai BBM memang akan terkena dampak langsung jika harga BBM jadi dinaikkan. Namun sekali lagi, pemerintah tidak tinggal diam. Langkah protektif terkait hal ini telah disiapkan.

Sekilas, Pemerintah memang terkesan mendzolimi mereka–rakyat kecil–jika menaikkan harga BBM. Tetapi, sejatinya tidaklah demikian. Rencana pemerintah untuk menaikkan harga BBM sebetulnya juga untuk rakyat. Dengan menaikkan harga BBM (mengurangi subsidi), ada banyak dana yang bisa dianggarkan pemerintah untuk membiayayai program-program pengentasan kemiskinan dan pembangunanan infrastruktur untuk menunjung berbagai aktivitas ekonomi yang pada akhirnya dapat menstimulasi pertumbuhan ekonomi, menigkatkan penciptaan  lapangan kerja, dan menigkatkan daya beli penduduk. Dana yang dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur pendidikan dan kesehatan juga dapat ditingkatkan, begitu pula dengan subsidi kesehatan dan pendidikan. Dengan demikian, tingkat kapabilitas penduduk dapat ditingkatkan secara berarti.

Diketahui, laporan United Nations Development Programme (UNDP) pada tahun 2011 lalu menunjukkan, ranking indeks pembangunan manusia (IPM) Indonesia menempati posisi 124 dari 187 negara. Itu artinya, kualitas manusia Indonesia, yang mecakup tingkat kapabilitas (pendidikan dan kesehatan) dan kemampuan daya beli masih jauh dari memuaskan, bahkan jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya, kita relatif tertinggal. Di kawasan ASEAN, IPM kita hanya lebih baik dari Vietnam, Kamboja, Myanmar, dan Laos (UNDP, 2011).

Kunci untuk memacu IPM adalah mendongkrak skor komponen-komponen penyusun IPM itu sendiri: tingkat pendikan dan kesehatan serta kemampuan daya beli. Lantas, bagaimana caranya negeri ini bisa memacu skor IPM-nya? Jika sebagian besar dana APBN justru digunakan untuk membiayayai subsidi BBM yang kenyataannya tidak tepat sasaran itu, ketimbang membiayayai pembangunan infrastruktur, subsidi pendidikan dan kesehatan, serta berbagai program yang bertalian langsung dengan peningkatan kapabilitas dan kemampuan daya beli penduduk lainnya.

Jika mencermati perkembangan harga minyak mentah dunia belakangan ini, dengan disahkannya pasal 7 ayat 6a, harga BBM hampir dipastikan bakal tetap naik dalam beberapa bulan ke depan. Karenanya, keputusan yang dihasilkan melalui ‘drama’ sidang paripurna yang berlangsung alot itu sejatinya adalah penundaan terhadap rencana kenaikan harga BBM. Dengan lain perkataan, tinggal menunggu waktu, harga BBM dipastikan bakal tetap naik dalam beberapa bulan ke depan. Semoga kita bisa memakluminya. (*)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Produksi Padi dan Pemilihan Presiden

Dimuat di Koran Tempo, 04 Juli 2014 Ada pola yang menarik bila kita mengulik tren data produksi padi nasional selama beberapa tahun terakhir. Kenaikan produksi ternyata selalu terjadi pada tahun-tahun saat pemilihan presiden dihelat. Sebagai contoh, pada 1 Juli 2004, tiga hari menjelang pilpres putaran pertama, Badan Pusat Statistik merilis angka ramalan produksi padi nasional yang menyebutkan bahwa produksi padi pada 2004 diperkirakan mencapai 53,67 juta ton gabah kering giling, atau mengalami peningkatan sebesar 1,5 juta ton (2,93 persen) dibanding produksi pada 2003. Hal yang sama juga terjadi pada 2009. Seminggu sebelum pilpres dihelat pada 8 Juli, BPS mengumumkan bahwa produksi padi nasional pada 2009 diperkirakan mencapai 62,56 juta ton, atau naik sebesar 2,24 juta ton (3,71 persen) dibanding produksi pada 2008. Bagi sebagian kalangan, terutama yang selama ini meragukan akurasi data produksi padi/beras nasional, hal ini bukan sekadar kebetulan. Pola kenaikan tersebut dit

Subsidi untuk Keluarga Miskin

Dimuat di Koran Tempo, 21 Juli 2014 Profil kemiskinan yang dirilis Badan Pusat Statistik pada awal bulan ini (1 Juli) menyebutkan, jumlah penduduk miskin pada Maret 2014 mencapai 28,28 juta orang (11,25 persen), atau hanya berkurang 0,32 juta orang dibanding kondisi pada September 2013. Profil kemiskinan ini memberi konfirmasi mengenai dua hal. Pertama, dampak kenaikan harga bahan bakar minyak pada akhir Juni tahun lalu terhadap kehidupan masyarakat kecil cukup dalam. Ternyata, tidak sedikit dari mereka yang terjerembap ke jurang kemiskinan selepas kenaikan harga BBM dan hingga kini tetap miskin. Kedua, laju penurunan jumlah penduduk miskin terus melambat, bahkan boleh dibilang telah menyentuh titik jenuh. Hal ini menunjukkan kondisi kemiskinan yang terjadi sudah kronis (chronic poverty) serta cenderung persisten dan sulit diatasi. Mereka yang tengah bergelut dalam kemiskinan saat ini adalah penduduk dengan tingkat kapabilitas (pendidikan dan kesehatan) yang sangat rendah, tin

Tingkat Kemakmuran Indonesia Lompat 21 Peringkat

Koran Tempo, 5 Maret 2016 Kemakmuran ternyata bukan melulu soal seberapa banyak materi atau kekayaan yang dikumpulkan suatu negara. Kekayaan memang merupakan salah satu faktor penentu utama kemakmuran, tapi bukan segalanya. Dimensi kemakmuran lebih luas dari sekadar akumulasi kekayaan materi. Ia juga mencakup dimensi non-materi, seperti kegembiraan hidup dan prospek untuk membangun hidup yang lebih baik di masa mendatang. Legatum Institute, sebuah lembaga think-tank yang berkedudukan di London, mencoba membangun sebuah indikator yang diupayakan mampu mengukur sebaik mungkin kemakmuran suatu negara secara multi-dimensi. Indikator tersebut tidak hanya didasarkan pada pendapatan, tapi juga sejumlah dimensi kualitatif yang merepresentasikan kesejahteraan (well-being). Indikator yang dikembangkan tersebut dikenal sebagai Legatum Prosperity Index yang diluncurkan setiap tahun sejak 2009. Indeks tersebut merupakan indeks komposit yang mencakup 89 variabel, dari variabel klasik se