Langsung ke konten utama

Postingan

Ironi di Sektor Pertanian: Negeri Agraris Pengimpor Pangan

Koran Tempo, 10 Maret 2018 Di bangku sekolah, kita selalu diajarkan bahwa kekayaan alam yang melimpah merupakan modal penting bagi Indonesia untuk bersaing dengan negara-negara lain di pentas dunia. Sayang, potensi besar ini belum dimanfaatkan secara maksimal. Statistik menunjukkan bahwa luas daratan Indonesia mencapai 1,9 juta kilometer persegi. Sebagian besar sangat cocok untuk lahan pertanian. Lahan pertanian yang luas lagi subur menjadikan produksi komoditas pertanian kita melimpah. Tidak mengherankan bila saat ini Indonesia menjadi negara produsen utama sejumlah komoditas pertanian di kancah global. Dalam soal beras, misalnya, meski belakangan ini kita harus mengimpor beras sebanyak 500 ribu ton, produksi di dalam negeri sejatinya melimpah. Data Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) memperlihatkan bahwa pada 2016 Indonesia menempati posisi ketiga sebagai negara penghasil padi terbesardi dunia setelah Cina dan India dengan produksi mencapai 77 juta ton. Sayan
Postingan terbaru

Defisit BPJS dan Konsumsi Rokok

Koran Tempo, 25 November 2017 Tahun ini, dana Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dilaporkan mengalami defisit. Nominalnya cukup besar, yakni mencapai Rp 9 triliunan. Menariknya, salah satu solusi yang diusulkan untuk menambal defisit tersebut adalah penggunaan dana bagi hasil cukai hasil tembakau yang diperkirakan bisa mencapai Rp 5 triliun. Menteri Kesehatan juga mengimbau masyarakat untuk membiasakan pola hidup sehat agar ongkos pengobatan yang harus dikeluarkan BPJS dapat ditekan. Penggunaan cukai rokok untuk menambal defisit BPJS sebetulnya sebuah ironi. Besarnya dana hasil cukai produk tembakau yang mencapai Rp 5 triliun tersebut menunjukkan tingginya tingkat konsumsi rokok di Tanah Air. Padahal kita tahu bahwa secara medis kebiasaan merokok merupakan salah satu penyebab utama sejumlah penyakit berat yang menyedot ongkos pengobatan yang tidak sedikit. Menteri Kesehatan sendiri pernah menyampaikan bahwa 30 persen dana BPJS ternyata terserap untuk pengobatan

Kepunahan Petani Kita dan Distribusi Lahan

Koran Tempo, 3 November 2017 Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) merilis hasil penelitiannya tentang fakta miris regenerasi petani di Provinsi Jawa Tengah. Rata-rata usia petani di tiga desa pertanian padi di provinsi ini mencapai 52 tahun. Namun generasi muda yang tertarik untuk melanjutkan usaha tani keluarganya hanya sekitar 3 persen (Antara, 20 September 2017). Tidak mengherankan jika LIPI menyatakan petani kita bakal punah. Faktanya, saat ini kultur bertani kian tergerus. Anak petani sebagian besar tak lagi bercita-cita menjadi petani. Menjadi petani adalah pilihan terakhir bagi generasi muda pedesaan untuk menyambung hidup. Seorang dosen Institut Pertanian Bogor (IPB) pernah berucap dalam sebuahworkshopbahwa anak muda di kawasan Puncak lebih bangga menjadi tukang ojek atau penjaga vila ketimbang menjadi petani sayuran. Salah satu penyebabnya adalah menjadi petani identik dengan kemiskinan danndeso. Sesuatu yang tentu saja sama sekali tidak menarik bagi genera

Tingkat Kemakmuran Indonesia Lompat 21 Peringkat

Koran Tempo, 5 Maret 2016 Kemakmuran ternyata bukan melulu soal seberapa banyak materi atau kekayaan yang dikumpulkan suatu negara. Kekayaan memang merupakan salah satu faktor penentu utama kemakmuran, tapi bukan segalanya. Dimensi kemakmuran lebih luas dari sekadar akumulasi kekayaan materi. Ia juga mencakup dimensi non-materi, seperti kegembiraan hidup dan prospek untuk membangun hidup yang lebih baik di masa mendatang. Legatum Institute, sebuah lembaga think-tank yang berkedudukan di London, mencoba membangun sebuah indikator yang diupayakan mampu mengukur sebaik mungkin kemakmuran suatu negara secara multi-dimensi. Indikator tersebut tidak hanya didasarkan pada pendapatan, tapi juga sejumlah dimensi kualitatif yang merepresentasikan kesejahteraan (well-being). Indikator yang dikembangkan tersebut dikenal sebagai Legatum Prosperity Index yang diluncurkan setiap tahun sejak 2009. Indeks tersebut merupakan indeks komposit yang mencakup 89 variabel, dari variabel klasik se

Mewujudkan Kesejahteraan Ibu dan Anak

Koran Tempo, 19 Desember 2015 Tak bisa dibantah, para ibu merupakan kunci keberlangsungan negeri ini. Pasalnya, dari merekalah generasi penerus dan para pemimpin negeri ini lahir dan dibesarkan. Tapi, apakah negeri ini sudah menjadi tempat yang ideal bagi para ibu untuk melahirkan dan membesarkan anaknya? Jawaban dari pertanyaan tersebut bisa diperoleh dalam State of The World's Mothers 2015 yang diluncurkan oleh lembaga non-pemerintah (NGO) Save The Children dalam rangka memperingati Hari Ibu Internasional. State of The World's Mothers merupakan laporan tahunan yang mengevaluasi kinerja negara-negara di dunia: apakah mampu menjadi tempat yang ideal bagi para ibu untuk membesarkan anaknya. Alat evaluasi yang digunakan adalah Mothers' Indeks, sebuah indeks komposit yang dibangun dari lima indikator, yakni kesehatan ibu—yang diukur melalui peluang seorang wanita berumur 15 tahun pada akhirnya bakal meninggal karena kasus maternal (kehamilan dan persalinan), kes

Sesak Napas Asap Rokok

Koran Tempo, 30 Oktober 2015 Statistik konsumsi rokok dunia pada 2014 kembali meneguhkan posisi Indonesia sebagai salah satu negara konsumen rokok terbesar sejagat. Sepanjang tahun lalu, konsumsi rokok dunia mencapai 5,8 triliun batang, dan sebanyak 240 miliar batang (4,14 persen) di antaranya dikonsumsi oleh perokok Indonesia. Mengutip pemberitaan Koran Tempo, angka konsumsi rokok ini menempatkan Indonesia sebagai negara pengkonsumsi rokok terbesar keempat dunia setelah Cina (2,57 triliun batang), Rusia (321 miliar batang), dan Amerika Serikat (281 miliar batang). Statistik konsumsi rokok masyarakat Indonesia tersebut tampaknya sejalan dengan tingginya prevalensi merokok di Tanah Air. Hasil Global Adult Tobacco Survey (GATS) pada 2011 memperlihatkan bahwa jumlah pengguna tembakau, baik berupa rokok maupun penggunaan lainnya tanpa asap ( smokeless form ), mencapai 61 juta orang atau mencakup sekitar 36 persen dari total penduduk Indonesia. Tingginya konsumsi rokok masyarak

Kriuk Pedas Beras Gandum

Koran  Tempo, 8 Agustus 2015 Suatu ketika, seorang kawan melontarkan pertanyaan mengenai harga kerupuk kaleng dan sebiji telur ayam. Dari sana, saya baru tersadar: harga dua bongkah kerupuk kaleng ternyata lebih mahal daripada sebiji telur ayam. Sekadar merinci buat Anda yang tak percaya, harga sebongkah kerupuk kaleng saat ini Rp 1.000, sedangkan harga sebiji telur ayam sebesar Rp 1.500. Padahal, dari segi kandungan gizi, jangankan dua bongkah, sekarung kerupuk pun kandungan gizinya jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan gizi sebiji telur ayam. Yang menarik lagi, kerupuk mendapat tempat yang istimewa dalam pola konsumsi orang Indonesia ketimbang telur ayam. Bagi banyak orang Indonesia, bukan makan namanya bila tanpa kerupuk. Negeri ini memang surganya kerupuk. Ada banyak varian kerupuk. Apa pun bisa dijadikan kerupuk, dari kulit binatang, ceker ayam, hingga daun bayam. Indonesia juga surganya sambal. Nyaris setiap daerah memiliki kekhasan jenis sambal dengan cita rasa