Langsung ke konten utama

Sesak Napas Asap Rokok

Koran Tempo, 30 Oktober 2015


Statistik konsumsi rokok dunia pada 2014 kembali meneguhkan posisi Indonesia sebagai salah satu negara konsumen rokok terbesar sejagat. Sepanjang tahun lalu, konsumsi rokok dunia mencapai 5,8 triliun batang, dan sebanyak 240 miliar batang (4,14 persen) di antaranya dikonsumsi oleh perokok Indonesia. Mengutip pemberitaan Koran Tempo, angka konsumsi rokok ini menempatkan Indonesia sebagai negara pengkonsumsi rokok terbesar keempat dunia setelah Cina (2,57 triliun batang), Rusia (321 miliar batang), dan Amerika Serikat (281 miliar batang).
Statistik konsumsi rokok masyarakat Indonesia tersebut tampaknya sejalan dengan tingginya prevalensi merokok di Tanah Air. Hasil Global Adult Tobacco Survey (GATS) pada 2011 memperlihatkan bahwa jumlah pengguna tembakau, baik berupa rokok maupun penggunaan lainnya tanpa asap (smokeless form), mencapai 61 juta orang atau mencakup sekitar 36 persen dari total penduduk Indonesia.
Tingginya konsumsi rokok masyarakat Indonesia tentu saja amat merisaukan. Pasalnya, ongkos yang harus dibayar akibat dampak buruk yang ditimbulkan oleh konsumsi rokok sangat mahal. Di negeri ini, kebiasaan merokok telah membunuh 225 ribu orang setiap tahun. Sementara itu, lebih dari 97 juta warga Indonesia—yang bukan perokok—saban hari terpapar asap rokok sehingga berisiko menderita berbagai penyakit yang ditimbulkan oleh asap rokok, yang konon mengandung 4.000 jenis senyawa kimia beracun.
Pada saat yang sama, biaya kesehatan yang dikeluarkan untuk berbagai penyakit yang dikaitkan dengan penggunaan tembakau mencapai Rp 11 triliun setiap tahun. Sementara itu, data Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan menunjukkan, meski penerimaan cukai rokok mencapai Rp 55 triliun pada 2010, pengeluaran makro akibat rokok justru mencapai Rp 245,41 triliun, yang mencakup pembelian rokok dari masyarakat (Rp 138 triliun), hilangnya produktivitas akibat cacat di usia muda (Rp 105,3 triliun), dan pengeluaran untuk perawatan medis (Rp 2,11 triliun). Fakta ini sejatinya memberi konfirmasi bahwa kerugian yang ditimbulkan oleh rokok lebih besar ketimbang manfaat ekonomi yang dihasilkan.
Porsi pengeluaran untuk rokok pada rumah tangga perokok juga cukup dominan sehingga mengurangi porsi pengeluaran untuk kebutuhan yang esensial dalam pengembangan derajat kapabilitas masyarakat, seperti pendidikan, kesehatan, dan asupan protein. Pada 2005, misalnya, pengeluaran untuk produk tembakau—termasuk rokok— mencapai 11,5 persen dari total pengeluaran rumah tangga perokok. Angka itu lebih tinggi daripada pengeluaran untuk pendidikan (3,2 persen), kesehatan (2,3 persen), serta sumber asupan protein seperti ikan, daging, dan susu (11 persen). Celakanya, sebanyak 68 persen rumah tangga di Indonesia memiliki pengeluaran untuk rokok (Susenas, 2009).
Prevalensi merokok pada penduduk kelompok usia muda juga sangat tinggi. Hasil Global Youth Tobacco Survey 2014 menunjukkan bahwa 19 persen penduduk pada kelompok umur 13-15 tahun adalah perokok. Padahal kerusakan yang ditimbulkan dalam jangka panjang akibat kebiasaan merokok pada penduduk usia muda merupakan potensi yang hilang (potential loss).
Persoalan semakin pelik karena prevalensi merokok pada masyarakat miskin ternyata juga sangat tinggi. Hal itu tecermin dari tingginya pengeluaran penduduk miskin yang dialokasikan untuk membeli rokok. Hasil perhitungan Badan Pusat Statistik (BPS) memperlihatkan, sumbangan pengeluaran untuk rokok terhadap garis kemiskinan menempati posisi kedua setelah pengeluaran untuk beras.
BPS mencatat, pada Maret 2015, kontribusi pengeluaran untuk rokok terhadap garis kemiskinan mencapai 8,24 persen di perkotaan dan 7,07 persen di pedesaan, jauh lebih tinggi dibanding kontribusi pengeluaran untuk pendidikan yang hanya sebesar 2,46 persen di perkotaan dan 1,39 persen di pedesaan. Itu artinya, masyarakat miskin negeri ini lebih banyak menghabiskan uang untuk rokok ketimbang urusan pendidikan.

Pasal Kretek
Ironisnya, meski dampak buruk konsumsi tembakau/rokok sudah sangat jelas, belakangan ini sejumlah wakil rakyat di parlemen justru mendorong legalisasi rokok kretek sebagai warisan budaya yang harus dilestarikan dan dipromosikan agar tidak hilang ditelan zaman.
Wacana untuk memasukkan pasal kretek dalam Rancangan Undang-Undang Kebudayaan sebagai bagian dari budaya nasional yang harus dilestarikan tentu saja kontraproduktif dengan upaya pemerintah yang sedang serius mengendalikan produk tembakau sesuai dengan amanat Undang-Undang Kesehatan 2009. Jika pasal kretek jadi diundangkan, tingkat konsumsi rokok masyarakat bakal sulit ditekan. Pasalnya, sekitar 90 persen perokok Indonesia menggunakan rokok kretek.
Kita mafhum bahwa industri rokok memiliki kontribusi yang tidak sedikit terhadap perekonomian, baik dari sisi penerimaan cukai rokok maupun penyerapan tenaga kerja. Selain itu, budi daya tanaman tembakau melibatkan banyak rumah tangga. Hasil Sensus Pertanian 2013 menunjukkan total jumlah rumah tangga tembakau mencapai 817,01 ribu rumah tangga. Kita paham pula bahwa, bagi masyarakat Indonesia, mengkonsumsi rokok kretek merupakan tradisi turun-temurun yang telah berlangsung lama, meskipun eksistensinya sebagai warisan budaya bangsa yang patut dilestarikan masih harus diperdebatkan.

Meski demikian, mengingat total kerugian yang ditimbulkan sangat besar, sudah semestinya semua elemen negeri ini memiliki komitmen yang kuat dan serius dalam menekan tingkat konsumsi rokok masyarakat. Hal tersebut harus diwujudkan melalui regulasi yang ketat maupun kampanye tentang bahaya rokok yang lebih intensif, bukan malah melegalkan bahkan mempromosikan rokok sebagai bagian dari budaya bangsa yang harus dilestarikan.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Subsidi untuk Keluarga Miskin

Dimuat di Koran Tempo, 21 Juli 2014 Profil kemiskinan yang dirilis Badan Pusat Statistik pada awal bulan ini (1 Juli) menyebutkan, jumlah penduduk miskin pada Maret 2014 mencapai 28,28 juta orang (11,25 persen), atau hanya berkurang 0,32 juta orang dibanding kondisi pada September 2013. Profil kemiskinan ini memberi konfirmasi mengenai dua hal. Pertama, dampak kenaikan harga bahan bakar minyak pada akhir Juni tahun lalu terhadap kehidupan masyarakat kecil cukup dalam. Ternyata, tidak sedikit dari mereka yang terjerembap ke jurang kemiskinan selepas kenaikan harga BBM dan hingga kini tetap miskin. Kedua, laju penurunan jumlah penduduk miskin terus melambat, bahkan boleh dibilang telah menyentuh titik jenuh. Hal ini menunjukkan kondisi kemiskinan yang terjadi sudah kronis (chronic poverty) serta cenderung persisten dan sulit diatasi. Mereka yang tengah bergelut dalam kemiskinan saat ini adalah penduduk dengan tingkat kapabilitas (pendidikan dan kesehatan) yang sangat rendah, tin

Produksi Padi dan Pemilihan Presiden

Dimuat di Koran Tempo, 04 Juli 2014 Ada pola yang menarik bila kita mengulik tren data produksi padi nasional selama beberapa tahun terakhir. Kenaikan produksi ternyata selalu terjadi pada tahun-tahun saat pemilihan presiden dihelat. Sebagai contoh, pada 1 Juli 2004, tiga hari menjelang pilpres putaran pertama, Badan Pusat Statistik merilis angka ramalan produksi padi nasional yang menyebutkan bahwa produksi padi pada 2004 diperkirakan mencapai 53,67 juta ton gabah kering giling, atau mengalami peningkatan sebesar 1,5 juta ton (2,93 persen) dibanding produksi pada 2003. Hal yang sama juga terjadi pada 2009. Seminggu sebelum pilpres dihelat pada 8 Juli, BPS mengumumkan bahwa produksi padi nasional pada 2009 diperkirakan mencapai 62,56 juta ton, atau naik sebesar 2,24 juta ton (3,71 persen) dibanding produksi pada 2008. Bagi sebagian kalangan, terutama yang selama ini meragukan akurasi data produksi padi/beras nasional, hal ini bukan sekadar kebetulan. Pola kenaikan tersebut dit

Kemiskinan Kronis

Dimuat di Koran Tempo, 26 September 2015                Statistik kemiskinan yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada 15 September lalu memberi konfirmasi bahwa kenaikan harga BBM pada akhir 2014 dan perlambatan ekonomi pada awal tahun ini berdampak signifikan terhadap peningkatan kemiskinan. Kombinasi keduanya sangat telak memukul daya beli masyarakat kecil akibat kenaikan harga-harga bahan kebutuhan pokok dan berkurangnya kesempatan kerja. BPS melaporkan bahwa jumlah penduduk miskin pada Maret 2015 mencapai 28,59 juta orang atau bertambah sebanyak 0,86 juta orang dibanding September 2014. Tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan juga mengalami peningkatan. BPS mencatat, indeks kedalaman kemiskinan (poverty gap index) pada Maret 2015 mencapai 1,97 atau meningkat dibanding September 2014 yang sebesar 1,75. Sementara itu, indeks keparahan kemiskinan (poverty severity index) juga naik dari 0,44 pada September 2014 menjadi 0,54 pada Maret 2015. Hal tersebut menunjukkan bahw