Koran Tempo, 25 November 2017
Tahun ini,
dana Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dilaporkan mengalami defisit.
Nominalnya cukup besar, yakni mencapai Rp 9 triliunan. Menariknya, salah satu
solusi yang diusulkan untuk menambal defisit tersebut adalah penggunaan dana
bagi hasil cukai hasil tembakau yang diperkirakan bisa mencapai Rp 5 triliun.
Menteri Kesehatan juga mengimbau masyarakat untuk membiasakan pola hidup sehat
agar ongkos pengobatan yang harus dikeluarkan BPJS dapat ditekan.
Penggunaan
cukai rokok untuk menambal defisit BPJS sebetulnya sebuah ironi. Besarnya dana
hasil cukai produk tembakau yang mencapai Rp 5 triliun tersebut menunjukkan
tingginya tingkat konsumsi rokok di Tanah Air. Padahal kita tahu bahwa secara
medis kebiasaan merokok merupakan salah satu penyebab utama sejumlah penyakit
berat yang menyedot ongkos pengobatan yang tidak sedikit.
Menteri
Kesehatan sendiri pernah menyampaikan bahwa 30 persen dana BPJS ternyata
terserap untuk pengobatan penyakit-penyakit berat, seperti stroke dan gagal
ginjal, yang secara medis sering disebabkan oleh konsumsi rokok. Seperti apa
sebetulnya gambaran konsumsi rokok di Tanah Air sehingga bisa menghasilkan
penerimaan negara berupa cukai yang cukup besar?
Hasil
Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilaksanakan secara rutin oleh
Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkap sejumlah fakta menarik terkait dengan
konsumsi rokok di Tanah Air.
Hasil
Susenas yang dilaksanakan pada September 2016 menunjukkan bahwa konsumsi rokok
masyarakat Indonesia relatif tinggi. Sebagai gambaran, rata-rata jumlah rokok
kretek yang dikonsumsi oleh perokok berumur lima tahun ke atas pada September
2016 mencapai 7,86 batang per hari. Sementara itu, konsumsi rokok putih
rata-rata sebanyak 2,59 batang per hari.
Sebagian
besar perokok di Tanah Air juga mulai merokok pada usia sangat muda. Bayangkan,
sekitar 62 persen perokok berusia lima tahun ke atas mulai merokok pada usia di
bawah 20 tahun. Itu artinya, mayoritas perokok di Tanah Air mulai mengisap
rokok saat duduk di bangku SMP dan SMA.
Hasil
Susenas juga memperlihatkan bahwa sebagian besar perokok berumur lima tahun ke
atas ternyata melakukan kebiasaan merokoknya di dalam rumah dengan persentase
mencapai sekitar 75 persen.
Padahal
dipahami bersama bahwa udara yang dicemari oleh asap rokok sangat berbahaya
buat kesehatan. Asap rokok yang dihasilkan perokok aktif justru mengandung
racun hasil pembakaran tembakau lebih banyak dibanding asap utama yang
diisapnya. Konsekuensinya, para perokok pasif lebih berisiko terkena dampak
buruk yang ditimbulkan dari kebiasaan merokok di dalam rumah. Celakanya, para
perokok pasif tersebut tidak jarang merupakan kelompok balita.
Persoalan
semakin pelik karena konsumsi rokok pada kelompok masyarakat berpendapatan
rendah juga sangat tinggi. Faktanya, sekitar 10 persen dari total pengeluaran
rumah tangga dari kelompok terendah dialokasikan untuk konsumsi rokok dan
tembakau. Angka ini bahkan mengalahkan porsi pengeluaran yang dialokasikan
untuk sumber protein, seperti daging, telur, ikan, dan susu.
Tidak
mengherankan jika dalam beberapa tahun terakhir rokok merupakan salah satu
komoditas utama dalam perhitungan garis kemiskinan. Pada Maret 2017, misalnya,
BPS mencatat bahwa kontribusi rokok dalam pembentukan garis kemiskinan di
wilayah perkotaan dan pedesaan masing-masing sebesar 11,79 persen dan 11,53
persen. Kontribusi pengeluaran untuk rokok menempati posisi kedua setelah beras
yang mencapai 20,11 persen di perkotaan dan 26,46 persen di pedesaan.
Padahal
dampak kesehatan yang ditimbulkan oleh konsumsi rokok membutuhkan biaya yang
tidak sedikit, yang pada akhirnya akan menjadi beban negara.
admin numpang promo ya.. :)
BalasHapuscuma di sini tempat judi online yang aman dan terpecaya di indoneisa WA : +85587781483