Suatu
ketika, seorang kawan melontarkan pertanyaan mengenai harga kerupuk kaleng dan
sebiji telur ayam. Dari sana, saya baru tersadar: harga dua bongkah kerupuk
kaleng ternyata lebih mahal daripada sebiji telur ayam. Sekadar merinci buat
Anda yang tak percaya, harga sebongkah kerupuk kaleng saat ini Rp 1.000,
sedangkan harga sebiji telur ayam sebesar Rp 1.500.
Padahal,
dari segi kandungan gizi, jangankan dua bongkah, sekarung kerupuk pun kandungan
gizinya jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan gizi sebiji telur ayam. Yang
menarik lagi, kerupuk mendapat tempat yang istimewa dalam pola konsumsi orang
Indonesia ketimbang telur ayam. Bagi banyak orang Indonesia, bukan makan
namanya bila tanpa kerupuk.
Negeri ini
memang surganya kerupuk. Ada banyak varian kerupuk. Apa pun bisa dijadikan
kerupuk, dari kulit binatang, ceker ayam, hingga daun bayam. Indonesia juga
surganya sambal. Nyaris setiap daerah memiliki kekhasan jenis sambal dengan
cita rasanya masing-masing. Seperti halnya kerupuk, bagi sebagian besar orang
Indonesia, tak nikmat rasanya bila makan tanpa ditemani sambal atau tanpa cita
rasa pedas pada makanan.
Cabai dan Inflasi
Tingginya
kebutuhan terhadap cabai mengakibatkan pergerakan angka inflasi-yakni variabel
ekonomi makro yang sangat penting, yang menunjukkan perkembangan atau seberapa
cepat harga-harga berubah dalam perekonomian- amat dipengaruhi oleh pergerakan
harga komoditas yang merupakan bahan baku utama sambal, dan sumber cita rasa
pedas pada masakan tersebut. Bila harga cabai "kian pedas" karena
suplai cabai di pasar terganggu, dapat dipastikan inflasi bakal meningkat, yang
ujung-ujungnya bakal mempengaruhi perekonomian. Ini disebabkan besarnya bobot
atau kontribusi cabai dalam perhitungan inflasi karena dikonsumsi secara masif
dan dalam jumlah besar oleh hampir seluruh penduduk Indonesia.
Saking
signifikannya peran cabai dalam pergerakan angka inflasi, seorang pejabat Bank
Indonesia pernah meminta agar cabai dikeluarkan saja dari komoditas yang
diikutkan dalam perhitungan inflasi. Tentu ini permintaan yang keliru.
Seharusnya, bila hendak meredam pengaruh cabai terhadap pergerakan inflasi,
yang mesti dilakukan adalah menjaga kestabilan harga cabai di pasar.
Pasokan
komoditas ini harus selalu mencukupi setiap saat. Sebab, hampir semua orang
Indonesia butuh cabai saat hendak makan. Celakanya, cabai adalah tanaman
semusim yang tak bisa dibudidayakan secara maksimal sepanjang tahun. Mau tak
mau, di tengah kebutuhan akan cabai yang terus meningkat, konsumsi cabai segar
harus ditekan. Orang Indonesia harus terbiasa mengkonsumsi cabai olahan (bubuk
atau yang telah dikeringkan). Namun, ini juga sulit, karena menyangkut selera
dan cita rasa.
Nasi dan Mi Instan
Yang juga
unik dari pola konsumsi orang Indonesia adalah peran beras/nasi sebagai sumber
utama karbohidrat. Sekitar 80 persen pemenuhan karbohidrat orang Indonesia
berasal dari nasi yang ditanak dari beras. Partisipasi orang Indonesia dalam
mengkonsumsi beras juga nyaris 100 persen. Itu artinya, hampir semua orang
Indonesia-dari Sabang sampai Merauke-menjadikan beras sebagai makanan pokok.
Fakta
tersebut menjadikan konsumsi beras penduduk Indonesia sangat tinggi. Bayangkan,
dalam setahun, setiap orang Indonesia secara rata-rata mengkonsumsi sekitar 139
kilogram beras. Karena itu, produksi dan ketersediaan beras yang mencukupi
menjadi isu penting di negeri ini, baik secara ekonomi maupun sosial-politik.
Pasalnya, perkara beras/nasi menyangkut urusan perut sekitar 250 juta penduduk.
Konsumsi
beras yang tinggi juga merupakan penyebab utama tingginya prevalensi penyakit
diabetes di Indonesia. Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan
Indonesia menduduki peringkat keempat sebagai negara dengan prevalensi diabetes
tertinggi di dunia.
Celakanya,
di tengah pesatnya laju pertambahan penduduk, Indonesia dihadapkan pada
kebutuhan beras yang terus meningkat. Sementara itu, pada saat yang sama,
kapasitas produksi padi/beras tumbuh lebih lambat. Dalam soal ini, yang juga
mengkhawatirkan adalah kian maraknya konversi lahan sawah ke penggunaan
non-pertanian, yang otomatis bakal menggerus kapasitas produksi. Mau tak mau,
bila produksi dalam negeri tak mencukupi, pilihannya adalah mengimpor dari luar
negeri.
Karena itu,
konsumsi beras harus ditekan dan diversifikasi pangan (sumber karbohidrat)
harus digalakkan. Ini tak mudah. Mengubah pola konsumsi nasi orang Indonesia
tak semudah membalikkan telapak tangan. Buktinya, kampanye agar mengurangi
konsumsi beras dan beralih ke pangan lokal pengahasil kerbohidrat
lainnya-misalnya one day no rice-telah dilakukan sebegitu rupa, namun hasilnya
belum maksimal. Bagi orang Indonesia, bukan makan namanya bila tanpa nasi.
Selain soal selera, juga soal gengsi dan prestise: ada persepsi keliru bahwa
mengkonsumsi jagung atau umbi-umbian-sebagai pengganti beras-identik dengan
kemiskinan dan ketidakmampuan membeli beras.
Celakanya,
meski konsumsi beras cenderung menurun dalam beberapa tahun terakhir, penurunan
tersebut justru dibarengi dengan meningkatnya konsumsi produk olahan gandum,
bukan komoditas pangan lokal. Padahal gandumnya harus diimpor dari luar negeri.
Salah satu produk olahan gandum yang kian penting peranannya dalam pola
konsumsi orang Indonesia sebagai sumber karbohidrat (pengganti nasi) adalah mi
instan.
Bayangkan,
menurut data Bank Dunia, Indonesia merupakan negara pengkonsumsi mi instan
terbesar kedua di dunia dengan konsumsi mencapai 13,7 miliar bungkus pada 2008.
Konsekuensinya,
konsumsi tepung terigu meningkat dan Indonesia menjadi satu dari lima negara
pengimpor gandum terbesar di dunia pada 2008. Entahlah apa sebabnya. Barangkali
pengaruh iklan mi instan yang ditayangkan saban hari di televisi tampaknya
sangat efektif dalam mempengaruhi pola konsumsi sebagian besar orang Indonesia?
●
BalasHapusayo daftarkan diri anda di 4g3n365*c0m :D
WA : +85587781483