Langsung ke konten utama

Mewujudkan Kesejahteraan Ibu dan Anak

Koran Tempo, 19 Desember 2015



Tak bisa dibantah, para ibu merupakan kunci keberlangsungan negeri ini. Pasalnya, dari merekalah generasi penerus dan para pemimpin negeri ini lahir dan dibesarkan. Tapi, apakah negeri ini sudah menjadi tempat yang ideal bagi para ibu untuk melahirkan dan membesarkan anaknya?
Jawaban dari pertanyaan tersebut bisa diperoleh dalam State of The World's Mothers 2015 yang diluncurkan oleh lembaga non-pemerintah (NGO) Save The Children dalam rangka memperingati Hari Ibu Internasional.
State of The World's Mothers merupakan laporan tahunan yang mengevaluasi kinerja negara-negara di dunia: apakah mampu menjadi tempat yang ideal bagi para ibu untuk membesarkan anaknya. Alat evaluasi yang digunakan adalah Mothers' Indeks, sebuah indeks komposit yang dibangun dari lima indikator, yakni kesehatan ibu—yang diukur melalui peluang seorang wanita berumur 15 tahun pada akhirnya bakal meninggal karena kasus maternal (kehamilan dan persalinan), kesejahteraan anak—yang diukur melalui tingkat kematian anak berumur di bawah lima tahun (balita), status pendidikan—yang diukur melalui angka harapan lama sekolah, status ekonomi yang direpresantasikan oleh PDB per kapita, dan status politik yang diwakili oleh partisipasi kaum perempuan dalam politik nasional.
Hasil evaluasi pada tahun ini menunjukkan bahwa satu dari 30 wanita di dunia berpeluang meninggal akibat kasus-kasus yang berhubungan dengan kehamilan dan persalinan, dan tujuh dari 10 wanita di dunia bakal kehilangan seorang anak sepanjang hidup mereka. Hasil evaluasi juga memperlihatkan bahwa meskipun kesehatan ibu dan anak mengalami peningkatan secara global, kesenjangan antara negara-negara kaya dan miskin kian melebar.
Negara-negara terbaik sebagai tempat para ibu membesarkan anaknya pada tahun ini adalah Norwegia, Finlandia, dan Islandia. Sementara itu, tempat terburuk bagi para ibu untuk membesarkan anaknya adalah negara-negara di kawasan Sub-Sahara Afrika. Dari 179 negara yang dievaluasi, Somalia, Republik Demokratik Kongo, dan Republik Afrika Tengah merupakan yang terburuk. Secara umum, negara-negara yang selama ini menjadi pusaran konflik merupakan tempat terburuk bagi para ibu menurut State of The World's Mothers 2015.Indonesia Papan Tengah
Bagaimana dengan Indonesia? Mother's Index 2015 menunjukkan bahwa Indonesia menempati peringkat ke-112 dari 179 negara. Itu artinya, Indonesia berada di papan tengah, bukan yang terbaik, bukan pula yang terburuk. Meskipun demikian, hal tersebut sejatinya memberi konfirmasi bahwa negeri ini belum menjadi tempat yang ideal bagi para ibu untuk membesarkan anaknya.
Jika dibandingkan dengan laporan tahun lalu, peringkat Indonesia hanya naik satu peringkat. Sementara itu, di kawasan ASEAN, Indonesia berada di belakang Singapura (peringkat ke-14), Malaysia (ke-71), Thailand (ke-83), Vietnam (ke-98), Filipina (ke-105), dan Timor Leste (ke-106). Faktanya, Indonesia hanya lebih baik dibanding Laos (ke-128), Kamboja (ke-132), dan Myanmar (ke-158).
Dua hal yang mesti menjadi fokus perhatian para pemangku kebijakan di negeri ini adalah rendahnya kesehatan ibu dan kesejahteraan anak. Menurut State of The World's Mothers 2015, satu dari 220 wanita berusia 15 tahun di negeri ini berpeluang meninggal karena kasus maternal. Hal ini memperlihatkan bahwa tingkat kesehatan ibu di Indonesia masih sangat rendah. Dengan kata lain, mereka sangat berisiko meregang nyawa akibat penyebab kematian yang berhubungan de-ngan kehamilan dan persalinan.
Rendahnya kesehatan ibu di negeri ini juga tecermin dari tingginya angka kematian ibu. Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) pada 2012, angka kematian ibu di Indonesia mencapai 359 untuk setiap 100 ribu kelahiran hidup. Karena itu, upaya serius pemerintah dalam menekan angka kematian ibu menjadi sangat krusial. Terkait dengan hal ini, akses para ibu terhadap layanan kesehatan yang berkualitas, terutama di daerah-daerah terpencil, saat masa kehamilan dan persalinan harus ditingkatkan.
Sementara itu, angka kematian balita di Indonesia juga cukup tinggi, yakni sebesar 29,3 untuk setiap 1.000 kelahiran hidup pada 2013. Dengan angka kematian balita sebesar itu, Indonesia termasuk salah satu yang terburuk di ASEAN. Bandingkan dengan Singapura yang angka kematian pada balitanya hanya 2,8 per 1.000 kelahiran hidup, Malaysia 8,5 per 1.000 kelahiran hidup, Thailand 13,1 per 1.000 kelahiran hidup, dan Vietnam 23,8 per 1.000 kelahiran hidup.
Kesejahteraan anak balita tentu saja bertalian erat dengan kesejahteraan ibunya. Anak balita yang lahir dan dibesarkan oleh ibu dengan status kesejahteraan yang baik hampir dipastikan bakal memperoleh asupan gizi yang baik dan penanganan kesehatan yang maksimal dibandingkan dengan balita yang terlahir dan dibesarkan oleh ibu yang miskin. State of The World's Mothers 2015 menunjukkan bahwa di negara-negara dengan peringkat Mothers' Index terburuk, anak-anak yang tumbuh dalam kemiskinan lima kali lebih berpeluang mengalami kematian ketimbang anak yang dibesarkan oleh orang tua yang berkecukupan (baca: kaya).
Karena itu, di samping upaya intervensi melalui program-program yang di-fokuskan pada penanganan kesehatan ibu dan anak, pemerintah harus memberi perhatian lebih pada upaya peningkatan kesejahteraan kaum perempuan. Salah satu caranya adalah dengan meningkatkan akses mereka dalam memperoleh pendidikan yang berkualitas, bukan hanya pendidikan dasar, tapi juga pendidikan tinggi.
Terlalu banyak hasil studi untuk menunjukkan bahwa lama bersekolah memiliki relasi yang sangat kuat dengan variabel-variabel penentu kualitas hidup, seperti pendapatan, kesehatan, dan partisipasi dalam kehidupan bermasyarakat. Selain itu, anak-anak yang dibesarkan oleh ibu yang berpendidikan umumnya juga bakal tumbuh dengan sehat dan terdidik dengan baik.●

Komentar

  1. terimakasih banyak informasinyaa! Sangat membuka pikiran dan berguna sekalii! Sukses selalu ya

    BalasHapus
  2. ayo menangkan uang setiap harinya di agen365*com
    WA : +85587781483

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Subsidi untuk Keluarga Miskin

Dimuat di Koran Tempo, 21 Juli 2014 Profil kemiskinan yang dirilis Badan Pusat Statistik pada awal bulan ini (1 Juli) menyebutkan, jumlah penduduk miskin pada Maret 2014 mencapai 28,28 juta orang (11,25 persen), atau hanya berkurang 0,32 juta orang dibanding kondisi pada September 2013. Profil kemiskinan ini memberi konfirmasi mengenai dua hal. Pertama, dampak kenaikan harga bahan bakar minyak pada akhir Juni tahun lalu terhadap kehidupan masyarakat kecil cukup dalam. Ternyata, tidak sedikit dari mereka yang terjerembap ke jurang kemiskinan selepas kenaikan harga BBM dan hingga kini tetap miskin. Kedua, laju penurunan jumlah penduduk miskin terus melambat, bahkan boleh dibilang telah menyentuh titik jenuh. Hal ini menunjukkan kondisi kemiskinan yang terjadi sudah kronis (chronic poverty) serta cenderung persisten dan sulit diatasi. Mereka yang tengah bergelut dalam kemiskinan saat ini adalah penduduk dengan tingkat kapabilitas (pendidikan dan kesehatan) yang sangat rendah, tin

Produksi Padi dan Pemilihan Presiden

Dimuat di Koran Tempo, 04 Juli 2014 Ada pola yang menarik bila kita mengulik tren data produksi padi nasional selama beberapa tahun terakhir. Kenaikan produksi ternyata selalu terjadi pada tahun-tahun saat pemilihan presiden dihelat. Sebagai contoh, pada 1 Juli 2004, tiga hari menjelang pilpres putaran pertama, Badan Pusat Statistik merilis angka ramalan produksi padi nasional yang menyebutkan bahwa produksi padi pada 2004 diperkirakan mencapai 53,67 juta ton gabah kering giling, atau mengalami peningkatan sebesar 1,5 juta ton (2,93 persen) dibanding produksi pada 2003. Hal yang sama juga terjadi pada 2009. Seminggu sebelum pilpres dihelat pada 8 Juli, BPS mengumumkan bahwa produksi padi nasional pada 2009 diperkirakan mencapai 62,56 juta ton, atau naik sebesar 2,24 juta ton (3,71 persen) dibanding produksi pada 2008. Bagi sebagian kalangan, terutama yang selama ini meragukan akurasi data produksi padi/beras nasional, hal ini bukan sekadar kebetulan. Pola kenaikan tersebut dit

Kemiskinan Kronis

Dimuat di Koran Tempo, 26 September 2015                Statistik kemiskinan yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada 15 September lalu memberi konfirmasi bahwa kenaikan harga BBM pada akhir 2014 dan perlambatan ekonomi pada awal tahun ini berdampak signifikan terhadap peningkatan kemiskinan. Kombinasi keduanya sangat telak memukul daya beli masyarakat kecil akibat kenaikan harga-harga bahan kebutuhan pokok dan berkurangnya kesempatan kerja. BPS melaporkan bahwa jumlah penduduk miskin pada Maret 2015 mencapai 28,59 juta orang atau bertambah sebanyak 0,86 juta orang dibanding September 2014. Tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan juga mengalami peningkatan. BPS mencatat, indeks kedalaman kemiskinan (poverty gap index) pada Maret 2015 mencapai 1,97 atau meningkat dibanding September 2014 yang sebesar 1,75. Sementara itu, indeks keparahan kemiskinan (poverty severity index) juga naik dari 0,44 pada September 2014 menjadi 0,54 pada Maret 2015. Hal tersebut menunjukkan bahw