Langsung ke konten utama

Darurat Regenerasi Petani


Koran Tempo, 18 April 2015


Pemerintah telah menetapkan target untuk mewujudkan swasembada pangan dalam waktu tiga tahun. Sejumlah langkah teknis-yang difokuskan pada peningkatan kapasitas produksi pangan nasional-pun telah disiapkan untuk merengkuh target tersebut. Salah satunya, pengalihan subsidi BBM ke sektor pertanian sebesar Rp 16 triliun untuk revitalisasi dan pembangunan jaringan irigasi baru.
Secara faktual, dari sekitar 8,1 juta hektare lahan sawah di negeri ini, baru seluas 4,8 juta hektare yang berkategori sawah irigasi. Itu pun sebagian besar jaringan irigasi teknis yang ada dilaporkan dalam kondisi rusak. Jadi, tidak mengherankan bila optimalisasi lahan sawah masih jauh dari harapan. Hal itu tecermin dari indeks pertanaman padi sawah yang hanya sebesar 1,6. Artinya, masih banyak sawah di negeri ini hanya bisa ditanami padi sekali setahun karena dukungan irigasi yang kurang memadai.
Karena itu, pengalihan Rp 16 triliun dana subsidi BBM untuk irigasi adalah langkah yang tepat. Jika terlaksana, hal itu dapat mendorong peningkatan kapasitas produksi pangan nasional, khususnya beras, melalui peningkatan produktivitas dan luas area panen.
Meski demikian, ada satu persoalan krusial yang juga harus menjadi fokus perhatian pemerintah selain peningkatan kapasitas produksi, yakni soal regenerasi petani. Pasalnya, keberhasilan negeri ini dalam merengkuh swasembada pangan sangat ditentukan oleh kinerja dan produktivitas para petani.
Hasil Sensus Pertanian 2013 (ST-2013) menunjukkan bahwa jumlah rumah tangga usaha tani (petani) telah berkurang sebanyak 5,1 juta rumah tangga selama dasawarsa terakhir. Memang, penurunan tersebut berdampak positif berupa peningkatan rata-rata luas lahan pertanian yang dikuasai petani dan penurunan jumlah petani gurem. Tapi, pada saat yang sama, hal tersebut sebetulnya merupakan ancaman terhadap keberlanjutan produksi pangan nasional.
Betapa tidak? Mutasi tenaga kerja di sektor pertanian ternyata juga dibarengi dengan "penuaan petani". Hasil ST-2013 menunjukkan jumlah petani usia tua (55+ tahun) meningkat cukup signifikan dalam sepuluh tahun terakhir, sedangkan jumlah petani usia muda (15-24 tahun) justru terus berkurang. Itu artinya, kultur bertani kian tergerus dan minat generasi muda untuk menjadi petani semakin rendah.
Hal tersebut kian diperparah oleh rendahnya tingkat pendidikan petani. Sekitar 70 persen petani negeri ini hanya menamatkan pendidikan maksimal sekolah dasar. Mereka bakal sulit mengikuti perkembangan teknologi pertanian, dan produktivitas lahan pertanian bakal berkurang. Jadi, target swasembada pangan, boleh jadi, hanya akan menjadi sekadar mimpi yang sulit diwujudkan karena terhambat produktivitas dan kompetensi petani yang kurang memadai.
Becermin dari kondisi seperti itu, minat generasi muda negeri ini terhadap profesi petani harus digalakkan. Dan hal itu hanya bisa terwujud bila sektor pertanian menjadi lapangan pekerjaan yang menarik dan menjanjikan secara ekonomi. Dengan kata lain, pendapatan petani harus digenjot, misalnya melalui subsidi input, perlindungan petani dari produk impor, dan jaminan harga yang menguntungkan bagi hasil produksi petani.
Pola Konsumsi Mencengangkan
Di samping itu, ada fakta menarik bila kita mengamati perkembangan pola konsumsi pangan penduduk Indonesia dalam beberapa tahun terakhir, khususnya dalam soal pemenuhan asupan karbohidrat (carbohydrate intake). Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) memperlihatkan konsumsi beras per kapita masyarakat Indonesia terus berkurang secara konsisten. Hal ini tentu merupakan perkembangan yang menggembirakan. Pasalnya, penurunan konsumsi beras per kapita sebesar 1,5 persen per tahun merupakan salah satu target pemerintah di bidang pangan.
Sayangnya, hal tersebut tidak dibarengi dengan peningkatan konsumsi komoditas pangan lokal yang merupakan sumber karbohidrat selain beras. Tapi yang meningkat justru konsumsi produk olahan tepung terigu, terutama mi instan. Hasil Susenas menunjukkan, selama periode 1996-2011, laju peningkatan pangsa pengeluaran rumah tangga Indonesia yang dialokasikan untuk membeli mi instan mencapai 5,95 persen per tahun. Hal ini memberi konfirmasi bahwa peran mi instan kian besar dalam pola konsumsi masyarakat Indonesia.
Celakanya, bahan baku pembuatan mi instan adalah tepung terigu, yang merupakan produk olahan gandum. Karena gandumnya harus diimpor, tak bisa dihindari, peningkatan konsumsi mi instan juga dibarengi dengan lonjakan impor gandum. Tidak mengherankan bila kini Indonesia merupakan negara importir gandum terbesar ke-4 di dunia setelah Mesir, Cina, dan Brasil dengan volume impor mencapai 7,4 juta ton, atau senilai US$ 3 miliar pada kurun 2013-2014 (Koran Jakarta, 12 April 2014). Itu artinya, volume impor dan banyaknya devisa yang dihabiskan untuk impor gandum sebetulnya lebih besar dari impor beras. Indonesia bahkan diramalkan bakal menjadi importir gandum terbesar di dunia dalam lima tahun mendatang.
Karena itu, tren peningkatan impor gandum harus disikapi secara serius oleh pemerintah. Sedikitnya ada dua hal yang dapat dilakukan pemerintah untuk mengerem laju peningkatan impor gandum. Pertama, pengembangan komoditas pengganti gandum sebagai penghasil tepung terigu harus didorong oleh pemerintah. Salah satu komoditas yang potensial untuk dikembangkan sebagai pengganti gandum adalah sagu. Sayangnya, komoditas ini belum sepenuhnya dilirik oleh industri, meski kandungan seratnya lebih kaya dibanding gandum.
Kedua, pemerintah harus mendorong budidaya tanaman gandum di dalam negeri. Meskipun sejatinya merupakan tanaman sub-tropis, ada beberapa varietas gandum yang cocok dibudidayakan di iklim tropis sehingga sangat potensial untuk dikembangkan di Tanah Air. Upaya membudidayakan gandum di Indonesia sebetulnya sudah dirintis oleh sejumlah kalangan dan terbilang sukses. Yang dibutuhkan adalah dukungan dan upaya afirmatif dari pemerintah untuk mendorong budidaya gandum di dalam negeri dengan skala yang lebih luas. ●

Komentar


  1. cuma di sini agen jud! online dengan proses yang sangat cepat :)
    ayo segera daftarkan diri anda di agen365 :)
    WA : +85587781483

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Produksi Padi dan Pemilihan Presiden

Dimuat di Koran Tempo, 04 Juli 2014 Ada pola yang menarik bila kita mengulik tren data produksi padi nasional selama beberapa tahun terakhir. Kenaikan produksi ternyata selalu terjadi pada tahun-tahun saat pemilihan presiden dihelat. Sebagai contoh, pada 1 Juli 2004, tiga hari menjelang pilpres putaran pertama, Badan Pusat Statistik merilis angka ramalan produksi padi nasional yang menyebutkan bahwa produksi padi pada 2004 diperkirakan mencapai 53,67 juta ton gabah kering giling, atau mengalami peningkatan sebesar 1,5 juta ton (2,93 persen) dibanding produksi pada 2003. Hal yang sama juga terjadi pada 2009. Seminggu sebelum pilpres dihelat pada 8 Juli, BPS mengumumkan bahwa produksi padi nasional pada 2009 diperkirakan mencapai 62,56 juta ton, atau naik sebesar 2,24 juta ton (3,71 persen) dibanding produksi pada 2008. Bagi sebagian kalangan, terutama yang selama ini meragukan akurasi data produksi padi/beras nasional, hal ini bukan sekadar kebetulan. Pola kenaikan tersebut dit

Subsidi untuk Keluarga Miskin

Dimuat di Koran Tempo, 21 Juli 2014 Profil kemiskinan yang dirilis Badan Pusat Statistik pada awal bulan ini (1 Juli) menyebutkan, jumlah penduduk miskin pada Maret 2014 mencapai 28,28 juta orang (11,25 persen), atau hanya berkurang 0,32 juta orang dibanding kondisi pada September 2013. Profil kemiskinan ini memberi konfirmasi mengenai dua hal. Pertama, dampak kenaikan harga bahan bakar minyak pada akhir Juni tahun lalu terhadap kehidupan masyarakat kecil cukup dalam. Ternyata, tidak sedikit dari mereka yang terjerembap ke jurang kemiskinan selepas kenaikan harga BBM dan hingga kini tetap miskin. Kedua, laju penurunan jumlah penduduk miskin terus melambat, bahkan boleh dibilang telah menyentuh titik jenuh. Hal ini menunjukkan kondisi kemiskinan yang terjadi sudah kronis (chronic poverty) serta cenderung persisten dan sulit diatasi. Mereka yang tengah bergelut dalam kemiskinan saat ini adalah penduduk dengan tingkat kapabilitas (pendidikan dan kesehatan) yang sangat rendah, tin

Tingkat Kemakmuran Indonesia Lompat 21 Peringkat

Koran Tempo, 5 Maret 2016 Kemakmuran ternyata bukan melulu soal seberapa banyak materi atau kekayaan yang dikumpulkan suatu negara. Kekayaan memang merupakan salah satu faktor penentu utama kemakmuran, tapi bukan segalanya. Dimensi kemakmuran lebih luas dari sekadar akumulasi kekayaan materi. Ia juga mencakup dimensi non-materi, seperti kegembiraan hidup dan prospek untuk membangun hidup yang lebih baik di masa mendatang. Legatum Institute, sebuah lembaga think-tank yang berkedudukan di London, mencoba membangun sebuah indikator yang diupayakan mampu mengukur sebaik mungkin kemakmuran suatu negara secara multi-dimensi. Indikator tersebut tidak hanya didasarkan pada pendapatan, tapi juga sejumlah dimensi kualitatif yang merepresentasikan kesejahteraan (well-being). Indikator yang dikembangkan tersebut dikenal sebagai Legatum Prosperity Index yang diluncurkan setiap tahun sejak 2009. Indeks tersebut merupakan indeks komposit yang mencakup 89 variabel, dari variabel klasik se