Langsung ke konten utama

Kepunahan Petani Kita dan Distribusi Lahan

Koran Tempo, 3 November 2017


Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) merilis hasil penelitiannya tentang fakta miris regenerasi petani di Provinsi Jawa Tengah. Rata-rata usia petani di tiga desa pertanian padi di provinsi ini mencapai 52 tahun. Namun generasi muda yang tertarik untuk melanjutkan usaha tani keluarganya hanya sekitar 3 persen (Antara, 20 September 2017).
Tidak mengherankan jika LIPI menyatakan petani kita bakal punah. Faktanya, saat ini kultur bertani kian tergerus. Anak petani sebagian besar tak lagi bercita-cita menjadi petani.
Menjadi petani adalah pilihan terakhir bagi generasi muda pedesaan untuk menyambung hidup. Seorang dosen Institut Pertanian Bogor (IPB) pernah berucap dalam sebuahworkshopbahwa anak muda di kawasan Puncak lebih bangga menjadi tukang ojek atau penjaga vila ketimbang menjadi petani sayuran.
Salah satu penyebabnya adalah menjadi petani identik dengan kemiskinan danndeso. Sesuatu yang tentu saja sama sekali tidak menarik bagi generasi milenial. Alhasil, mereka yang bertahan di sektor pertanian saat ini mayoritas adalah generasi tua.
Yang menyedihkan, sebagian besar petani memiliki kapabilitas yang rendah. Betapa tidak, mayoritas petani kita hanya tamatan SD atau bahkan tidak bersekolah.
Sebuah tantangan berat bagi penyediaan pangan dari produksi sendiri di masa datang, yang tentu saja membutuhkan inovasi dan modernisasi sektor pertanian.
Lalu bagaimana caranya? Itulah yang perlu dipikirkan bersama.

Distribusi lahan timpang
Salah satu cara yang cukup efektif dalam meningkatkan profitabilitas kegiatan usaha tani adalah meningkatkan skala usaha. Untuk kegiatan pertanian berbasis lahan, seperti subsektor tanaman bahan makanan, skala usaha tani dapat ditingkatkan dengan memperluas lahan garapan.
Sayangnya, sebagian besar rumah tangga pertanian saat ini mengusahakan lahan pertanian dengan luas yang jauh dari skala usaha tani ideal. Distribusi penguasaan lahan yang timpang juga menambah runyam persoalan karena membatasi akses mayoritas petani untuk menguasai lahan sesuai dengan skala usaha tani yang ideal. Kondisi ini mengakibatkan porsi terbesar dari pertumbuhan ekonomi di sektor pertanian hanya dinikmati oleh sebagian kecil petani, yakni para petani kaya dan pemilik lahan garapan yang luas.
Fakta lain menunjukkan, sekitar 56 persen rumah tangga pertanian merupakan rumah tangga petani gurem dengan penguasaan lahan kurang dari setengah hektare. Padahal sejumlah kajian memperlihatkan bahwabreak-even point (BEP) dan surplus usaha tani untuk komoditas padi, jagung, dan kedelai, misalnya, bisa tercapai jika petani mengusahakan lahan pertanian minimal 0,5 hektare.
Inilah salah satu akar masalah dari kemiskinan struktural di sektor pertanian yang sulit dientaskan.

Lahan adalah aset yang mahapenting bagi petani. Jadi, kalau pemerintah benar-benar serius ingin memperbaiki kesejahteraan mereka, sudah saatnya janji bagi-bagi lahan pertanian direalisasikan. Jangan hanya wacana. Apakah janji tersebut bakal kembali diumbar pada pemilu yang akan datang, yang tinggal sebentar lagi? ●

Komentar

  1. agen365 agen jud! online terpecaya dan teraman di indonesia :)
    WA : +85587781483

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Subsidi untuk Keluarga Miskin

Dimuat di Koran Tempo, 21 Juli 2014 Profil kemiskinan yang dirilis Badan Pusat Statistik pada awal bulan ini (1 Juli) menyebutkan, jumlah penduduk miskin pada Maret 2014 mencapai 28,28 juta orang (11,25 persen), atau hanya berkurang 0,32 juta orang dibanding kondisi pada September 2013. Profil kemiskinan ini memberi konfirmasi mengenai dua hal. Pertama, dampak kenaikan harga bahan bakar minyak pada akhir Juni tahun lalu terhadap kehidupan masyarakat kecil cukup dalam. Ternyata, tidak sedikit dari mereka yang terjerembap ke jurang kemiskinan selepas kenaikan harga BBM dan hingga kini tetap miskin. Kedua, laju penurunan jumlah penduduk miskin terus melambat, bahkan boleh dibilang telah menyentuh titik jenuh. Hal ini menunjukkan kondisi kemiskinan yang terjadi sudah kronis (chronic poverty) serta cenderung persisten dan sulit diatasi. Mereka yang tengah bergelut dalam kemiskinan saat ini adalah penduduk dengan tingkat kapabilitas (pendidikan dan kesehatan) yang sangat rendah, tin

Produksi Padi dan Pemilihan Presiden

Dimuat di Koran Tempo, 04 Juli 2014 Ada pola yang menarik bila kita mengulik tren data produksi padi nasional selama beberapa tahun terakhir. Kenaikan produksi ternyata selalu terjadi pada tahun-tahun saat pemilihan presiden dihelat. Sebagai contoh, pada 1 Juli 2004, tiga hari menjelang pilpres putaran pertama, Badan Pusat Statistik merilis angka ramalan produksi padi nasional yang menyebutkan bahwa produksi padi pada 2004 diperkirakan mencapai 53,67 juta ton gabah kering giling, atau mengalami peningkatan sebesar 1,5 juta ton (2,93 persen) dibanding produksi pada 2003. Hal yang sama juga terjadi pada 2009. Seminggu sebelum pilpres dihelat pada 8 Juli, BPS mengumumkan bahwa produksi padi nasional pada 2009 diperkirakan mencapai 62,56 juta ton, atau naik sebesar 2,24 juta ton (3,71 persen) dibanding produksi pada 2008. Bagi sebagian kalangan, terutama yang selama ini meragukan akurasi data produksi padi/beras nasional, hal ini bukan sekadar kebetulan. Pola kenaikan tersebut dit

Kemiskinan Kronis

Dimuat di Koran Tempo, 26 September 2015                Statistik kemiskinan yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada 15 September lalu memberi konfirmasi bahwa kenaikan harga BBM pada akhir 2014 dan perlambatan ekonomi pada awal tahun ini berdampak signifikan terhadap peningkatan kemiskinan. Kombinasi keduanya sangat telak memukul daya beli masyarakat kecil akibat kenaikan harga-harga bahan kebutuhan pokok dan berkurangnya kesempatan kerja. BPS melaporkan bahwa jumlah penduduk miskin pada Maret 2015 mencapai 28,59 juta orang atau bertambah sebanyak 0,86 juta orang dibanding September 2014. Tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan juga mengalami peningkatan. BPS mencatat, indeks kedalaman kemiskinan (poverty gap index) pada Maret 2015 mencapai 1,97 atau meningkat dibanding September 2014 yang sebesar 1,75. Sementara itu, indeks keparahan kemiskinan (poverty severity index) juga naik dari 0,44 pada September 2014 menjadi 0,54 pada Maret 2015. Hal tersebut menunjukkan bahw