Peringatan Hari Perempuan Internasional, 8 Maret, menyerukan dunia agar lebih seimbang dalam gender. Faktanya, meskipun pemberdayaan perempuan mengalami kemajuan, kesenjangan ekonomi antara laki-laki dan perempuan masih terjadi. Dalam kasus Indonesia, kesenjangannya bahkan cukup besar. Hingga kini, ekonomi nasional lebih digerakkan laki-laki (male-driven economy). Kontribusi perempuan terhadap penciptaan pendapatan nasional jauh lebih rendah dari laki-laki dan di bawah potensi aktualnya.
Indeks Pemberdayaan Gender yang dihitung Badan Pusat Statistik (BPS) telah meningkat signifikan dari 68,15 poin tahun 2010 menjadi 71,74 poin pada 2017. Indeks untuk mengukur kemajuan aspek multidimensional pemberdayaan perempuan yang mencakup politik, sosial, dan ekonomi. Sayangnya, terlepas dari peningkatan signifikan ini, wanita hanya menyumbang 36,62 persen dari total pendapatan. Ini menegaskan dominasi laki-laki.
Kontribusi kecil perempuan juga merupakan masalah krusial dalam pembagungan berbasis gender. Meskipun Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia telah mencapai 70,81 poin tahun 2017 dan dianggap tinggi berdasarkan kategorisasi yang dibuat Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP), pencapaian ini tidak sama antargender. Faktanya, wanita tertinggal dari laki-laki dalam kinerja pembangunan manusia. Data BPS menunjukkan bahwa IPM perempuan hanya 68,08 poin pada tahun 2017, jauh lebih rendah dari IPM laki-laki (74,85 poin).
IPM adalah indeks komposit yang didedikasikan untuk mengukur kemajuan pembangunan manusia melalui dimensi (1) kehidupan yang panjang dan sehat, (2) pendidikan, dan (3) standar hidup layak (kesejahteraan ekonomi). Meskipun perempuan mengungguli laki-laki untuk dimensi kesehatan yang ditunjukkan harapan hidup yang lebih lama saat lahir, mereka berkinerja lebih buruk dalam pendidikan dan standar hidup.
Pada 2017, rata-rata lama sekolah perempuan 7,65 tahun, satu tahun lebih pendek dari laki-laki yang mencapai 8,56 tahun. Sementara itu, dalam pengeluaran per kapita bulanan, secara rata-rata, laki-laki dua kali lipat dari wanita. Kontribusi perempuan terhadap penciptaan pendapatan jauh lebih sedikit dari pria, sebenarnya berkaitan erat dengan masalah penting lain yang disebut kesenjangan ketenagakerjaan gender.
Meskipun sekitar setengah populasi usia kerja, berusia 15+ tahun adalah wanita, pasar kerja negara ini masih didominasi kaum Adam. Hasil survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) yang dilakukan BPS pada Agustus 2018 menunjukkan, tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan Indonesia hanya sekitar 51,88 persen, sedangkan pria 82,69 persen. Bahkan, sebagian besar perempuan usia kerja yang tidak aktif dalam pasar kerja hanya terlibat dalam pekerjaan rumah tangga (domestik).
Angka 51,88 persen relatif rendah dibanding negara-negara lain pada tahap pembangunan. Ini masih jauh dari target nasional yang ditetapkan untuk mempersempit kesenjangan antara tingkat partisipasi tenaga kerja perempuan dan pria sebesar 25 persen pada 2025. Harus dicatat, berdasarkan penelitian Monash University pada 2016 tentang partisipasi ekonomi perempuan Indonesia, target tadi termasuk sangat optimistis.
Dalam skenario yang lebih realistis, partisipasi pekerja perempuan mungkin bakal menurun, terutama jika tren sekarang terus berlanjut. Namun, ada perkembangan yang menjanjikan di antara generasi muda, khususnya yang lebih berpendidikan di daerah perkotaan. Kecenderungan perempuan dalam kelompok ini untuk berpartisipasi dalam angkatan kerja meningkat.
Selain itu, meskipun sebagian besar perempuan terlibat dalam sektor informal wiraswasta, juga kurang terwakili dalam kewirausahaan karena terbatasnya akses ke sumber daya keuangan. Situasi menjadi lebih buruk karena kualitas pekerjaan perempuan juga tidak lebih baik dari pria.
Pada Agustus 2018, sekitar 40,73 persen pekerja perempuan memiliki waktu kerja kurang dari 35 jam per pekan. Sekitar 3 juta di antaranya dianggap sebagai setengah pengangguran. Kebanyakan terkonsentrasi di sektor-sektor berpenghasilan rendah seperti pertanian. Perempuan hanya mencakup 34,22 persen dari total pekerja sektor formal.
Kesenjangan dalam kualitas pekerjaan berkontribusi pada perbedaan upah antara pekerja laki-laki dan perempuan. Data BPS Agustus 2018 memperlihatkan, rata-rata upah bulanan karyawan perempuan sekitar 2,4 juta rupiah, sedang pria 3,1 juta rupiah. Karyawan dengan kualifikasi universitas, kesenjangan upah bahkan lebih besar. Untuk perempuan memperoleh sekitar 43 persen lebih rendah dari laki-laki.
Kesenjangan Upah
Selain itu, Monash University juga menemukan kesenjangan upah keduanya di sektor formal mencapai 34 persen. Sementara itu, di sektor informal, perempuan 50 persen lebih rendah dibanding pria. Ada juga diskriminasi terhadap perempuan di pasar kerja. Hal ini menjelaskan kesenjangan upah kedua kelompok.
Maka, kunci optimalisasi potensi perempuan harus ada dorongan kesetaraan gender. Konkretnya perlu dukungan kebijakan yang menguntungkan perempuan, bersama dengan perubahan norma dan praktik sosial. Tidak dapat dipungkiri, keuntungan ekonomi yang dapat dipetik dari partisipasi perempuan di pasar kerja sangat besar.
Sebuah laporan yang diterbitkan McKinsey Global Institute (MGI) bertajuk The Power of Parity: Advancing Women’s Equality in the Asia Pacific memperkirakan 135 miliar dollar AS setahun dapat ditambahkan ke Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada tahun 2025 dengan memajukan kesetaraan gender. Sementara itu, menurut Bank Pembangunan Asia, bila berhasil menutup kesenjangan gender dalam pekerjaan dapat menambah 14 persen pendapatan per kapita bagi negara berkembang seperti Indonesia pada tahun 2020.
Dalam jangka panjang, meningkatkan kesetaraan pendidikan penting untuk meningkatkan peluang ekonomi perempuan. Dengan pendidikan lebih baik, mereka akan memiliki lebih banyak akses pekerjaan yang lebih berkualitas dengan gaji lebih tinggi. Maka, meningkatkan pendidikan perempuan juga merupakan langkah utama untuk mempersempit kesenjangan upah antarkelompok gender.
Jadi, potensi keuntungan ekonomi dari menutup celah kesenjangan sangat menjanjikan. Ini juga dapat membantu negara menurunkan ketimpangan pendapatan. Sebab ini merupakan salah satu tantangan utama mewujudkan masyarakat berkeadilan.
Penulis alumnus Monash University, Australia
BalasHapusayo tes keberuntungan kamu di agen365*com :D
WA : +85587781483