Koran Tempo, 10 Maret 2018
Di bangku
sekolah, kita selalu diajarkan bahwa kekayaan alam yang melimpah merupakan
modal penting bagi Indonesia untuk bersaing dengan negara-negara lain di pentas
dunia. Sayang, potensi besar ini belum dimanfaatkan secara maksimal.
Statistik
menunjukkan bahwa luas daratan Indonesia mencapai 1,9 juta kilometer persegi.
Sebagian besar sangat cocok untuk lahan pertanian. Lahan pertanian yang luas
lagi subur menjadikan produksi komoditas pertanian kita melimpah. Tidak
mengherankan bila saat ini Indonesia menjadi negara produsen utama sejumlah
komoditas pertanian di kancah global.
Dalam soal
beras, misalnya, meski belakangan ini kita harus mengimpor beras sebanyak 500
ribu ton, produksi di dalam negeri sejatinya melimpah. Data Organisasi Pangan
dan Pertanian Dunia (FAO) memperlihatkan bahwa pada 2016 Indonesia menempati
posisi ketiga sebagai negara penghasil padi terbesardi dunia setelah Cina dan
India dengan produksi mencapai 77 juta ton.
Sayang,
beras sebanyak itu ternyata belum mencukupi untuk memenuhi kebutuhan konsumsi
dalam negeri secara berkelanjutan. Hal itu tecermin dari gejolak harga beras
yang merupakan indikasi suplai yang tidak mencukupi. Salah satu penyebabnya
adalah konsumsi beras penduduk Indonesia yang sangat tinggi. Bayangkan, setiap
orang Indonesia diperkirakan mengkonsumsi 114 kilogram beras dalam setahun
berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS).
Konsekuensinya,
peningkatan produksi beras di dalam negeri acap kali tidak mampu mengimbangi
peningkatan kebutuhan beras akibat pertambahan jumlah penduduk.
Ironisnya,
produksi beras yang melimpah ini ternyata sebagian besar merupakan hasil
pengorbanan dan jerih payah para petani kecil yang mengelola lahan sawah
rata-rata kurang dari setengah hektare (petani gurem). Hasil Sensus Pertanian
2013 yang dilaksanakan BPS menunjukkan bahwa rata-rata luas lahan sawah yang
dikelola petani kita hanya 0,2 hektare. Sedangkan hasil Survei Kajian Cadangan
Beras (SKCB) yang dilaksanakan BPS pada Maret 2015 memperlihatkan bahwa sekitar
70 persen rumah tangga tanaman padi merupakan petani gurem.
Dengan luas
lahan garapan yang tidak seberapa ini, skala usaha tani yang menguntungkan
tentu bakal sulit dicapai. Itulah sebabnya, meski produksi padi nasional secara
agregat cukup besar, banyak petani yang tetap hidup dalam jerat kemiskinan.
Secara faktual, sekitar 75 persen petani miskin di negeri ini adalah petani
padi dan palawija. Hal itu tecermin dari perkembangan nilai tukar petani
tanaman pangan yang cenderung melandai.
Hasil SKCB
juga mengungkapkan fakta menarik. Sebanyak 41 persen dari total rumah tangga
tanaman padi yang mencapai 14 juta rumah tangga ternyata merupakan konsumen
neto (net consumers) beras.
Rata-rata
pembelian beras oleh rumah tangga produsen padi (termasuknet producers)
mencapai 2,37 kilogram dalam sebulan. Itu artinya, meski merupakan produsen
beras, mereka juga harus membeli beras dengan harga pasar karena produksi yang
dihasilkan tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Fakta ini
juga menunjukkan bahwa kenaikan harga beras bakal memukul daya beli mayoritas
petani yang juga miskin. Karena itu, argumen bahwa kebijakan impor beras untuk
menstabilkan harga dalam negeri bakal menyengsarakan petani patut ditelaah
lebih dalam. Pertanyaannya adalah, petani yang mana dan seberapa besar
dampaknya?
menang berapapun di bayar
BalasHapusayo segera bergabung bersama kami di bandar365*com
WA : +85587781483