Dimuat di Koran Tempo, 12 November 2014
Pemerintah Jokowi-JK baru saja meluncurkan
tiga program jaminan sosial yang direncanakan bakal menyasar 15,5 juta rumah
tangga kurang mampu atau 25 persen penduduk Indonesia yang secara ekonomi
berada di strata paling bawah. Ketiga program tersebut adalah Program Simpanan
Keluarga Sejahtera (PSKS), Program Indonesia Pintar (PIP), dan Program
Indonesia Sehat (PIS).
Dalam prakteknya, penyaluran program
menggunakan empat “kartu sakti”, yakni Kartu Keluarga Sejahtera sebagai penanda
keluarga kurang mampu; kartu HP (SIM card), yang berisi uang elektronik yang
digunakan untuk mengakses Simpanan Keluarga Sejahtera; serta Kartu Indonesia
Pintar dan Kartu Indonesia Sehat yang merupakan penanda penerima manfaat PIP
dan PIS.
Dari ketiga program jaminan sosial yang
baru diluncurkan tersebut, PSKS-bantuan langsung non-tunai yang diberikan dalam
bentuk rekening simpanan melalui layanan keuangan digital-merupakan terobosan
baru.
Selain mempermudah masyarakat kurang mampu
dalam mendapatkan bantuan, terobosan tersebut dapat membuka akses mereka untuk
masuk ke dalam sistem perbankan, sehingga dapat mendorong masyarakat miskin
untuk menabung, sekaligus membuka akses mendapatkan pinjaman dari bank yang
bisa digunakan untuk kegiatan produktif.
Bila terlaksana dengan baik, program jaminan
sosial yang baru saja diluncurkan pemerintah berpotensi memberikan solusi
terhadap dua persoalan kronis negeri ini: kemiskinan dan ketimpangan. Di
Brasil, program sejenis dengan nama Bolsa Familia (tabungan keluarga) terbukti
ampuh dalam mereduksi kesenjangan hingga 17 persen dalam lima tahun dan menekan
angka kemiskinan dari 42,7 persen menjadi 28,8 persen (Kompas, 5 November).
Namun implementasi program bukannya tanpa
hambatan. Sedikitnya, ada dua kendala yang kemungkinan besar bakal terjadi di
lapangan. Pertama, program berpeluang tidak tepat sasaran. Hal itu terjadi
ketika program menyasar rumah tangga yang seharusnya tidak menerima bantuan (inclusion
error), dan/atau mengabaikan rumah tangga kurang mampu (exclusion error).
Peluang program tidak tepat sasaran cukup
besar. Pasalnya, data yang dijadikan acuan penerima manfaat program adalah data
lama, yakni hasil Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) 2011 yang
dilaksanakan Badan Pusat Statistik. Data tersebut kini dikelola oleh Tim
Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K). Padahal kondisi
kemiskinan sangatlah dinamis. Faktanya, jangankan setahun, dalam kurun enam
bulan pun status kemiskinan rumah tangga bisa berubah.
Kedua, konflik sosial akibat program yang
tidak tepat sasaran juga bakal terjadi. Konflik bisa terjadi antara penerima
dan yang tidak, serta antara masyarakat dan aparat pemerintah yang dianggap
bertanggung jawab terhadap penetapan penerima manfaat program.
Karena itu, akurasi data rumah tangga
sasaran penerima manfaat program sangatlah krusial. Pengalaman Brasil
menunjukkan, salah satu penentu keberhasilan Bolsa Familia adalah akurasi data,
yang tentu saja merupakan output dari sistem pendataan yang dilakukan secara
teliti. Dalam soal ini, pemerintah tampaknya terkesan terburu-buru. Meski sulit
dan membutuhkan waktu, data rumah tangga sasaran semestinya dimutakhirkan dan
diverifikasi terlebih dulu. ●
Komentar
Posting Komentar