Langsung ke konten utama

BBM dan Kemiskinan

Dimuat di Koran Tempo, 28 Agustus 2014
Di tengah membubungnya harapan terhadap pemerintahan mendatang, duet Jokowi-JK tampaknya bakal dihadapkan pada tantangan yang tak mudah di masa awal periode pemerintahan mereka. Salah satunya, soal seretnya ruang fiskal pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2015 akibat tekanan subsidi BBM.
Konsekuensinya, ambisi menggenjot pertumbuhan ekonomi hingga 7 persen akan sulit diwujudkan. Begitu pula dengan program-program unggulan yang telah dijanjikan saat kampanye, kemungkinan besar tak sepenuhnya bisa direalisasi pada 2015.
Seperti diketahui, APBN 2015 didasari asumsi bahwa harga BBM tidak mengalami penyesuaian. Akibatnya, subsidi BBM, yang pada tahun ini telah mencapai Rp 246,5 triliun, bakal melonjak hingga Rp 291,1 triliun pada 2015. Pendek kata, mau tidak mau, kenaikan harga BBM menjadi pilihan yang harus diambil oleh pemerintah Jokowi-JK.
Repotnya, kebijakan menaikkan harga BBM amat tidak populer dan kerap menuai penolakan dari banyak kalangan. Pasalnya, kebijakan ini dipandang bakal menyengsarakan wong cilik, terutama kelompok warga miskin.
Pengalaman menunjukkan bahwa kenaikan harga BBM selalu memicu inflasi. Faktanya, dampak inflasi tersebut lebih dirasakan oleh wong cilik dalam bentuk penurunan daya beli. Soalnya, kenaikan harga BBM selalu berujung pada kenaikan harga komoditas lainnya, terutama bahan makanan, yang proses produksi dan rantai distribusinya menggunakan BBM. Padahal, 60-70 persen pengeluaran untuk penduduk miskin dan hampir miskin dialokasikan untuk kebutuhan makanan.
Pada 2005, misalnya, kenaikan harga BBM terjadi dua kali, antara lain pada 1 Maret dan 1 Oktober, telah memacu inflasi tahunan hingga mencapai 17,11 persen. Akibatnya, 4,2 juta orang jatuh miskin sepanjang Februari 2005-Maret 2006. Menurut Bank Dunia, memburuknya kondisi kemiskinan kala itu lebih disebabkan oleh lonjakan harga beras (Making The New Indonesia Work For The Poor, 2006). Diketahui, 20-25 persen pengeluaran bagi penduduk miskin dan hampir miskin dialokasikan untuk beras. Pengalaman serupa juga terjadi pada 2013. Kenaikan harga BBM pada akhir Juni mengerek inflasi pada Juli 2013, sehingga mencapai 3,29 persen. Akibatnya, 0,48 juta orang terjerembap ke jurang kemiskinan sepanjang Maret-September 2013.
Meski demikian, Jokowi-JK tak boleh ragu untuk menaikkan harga (baca: menghapus subsidi) BBM. Sebab, dengan mekanisme pemberian kompensasi yang tepat sasaran dan pengendalian inflasi (kelompok bahan makanan) yang efektif, dampak kenaikan harga BBM terhadap kemiskinan bisa ditekan.
Selain itu, dalam jangka panjang, penghapusan subsidi BBM sejatinya bakal berdampak penurunan angka kemiskinan. Dengan demikian, ada ruang untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi. Selain itu, anggaran yang dialokasikan untuk program-program anti-kemiskinan dapat ditingkatkan. Banyak bukti memperlihatkan bahwa pertumbuhan ekonomi, yang dibarengi dengan pemerataan, merupakan resep terbaik untuk menyelesaikan ihwal kemiskinan.
Sebaliknya, dalam jangka panjang, subsidi BBM justru bakal menghambat berbagai program anti-kemiskinan akibat keterbatasan anggaran. Ditengarai, selama ini, subsidi BBM juga telah berkontribusi terhadap kesenjangan ekonomi yang kian melebar. Pasalnya, 60-70 persen dari subsidi BBM, yang menyedot 20 persen anggaran negara, justru dinikmati golongan mampu. ●

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Produksi Padi dan Pemilihan Presiden

Dimuat di Koran Tempo, 04 Juli 2014 Ada pola yang menarik bila kita mengulik tren data produksi padi nasional selama beberapa tahun terakhir. Kenaikan produksi ternyata selalu terjadi pada tahun-tahun saat pemilihan presiden dihelat. Sebagai contoh, pada 1 Juli 2004, tiga hari menjelang pilpres putaran pertama, Badan Pusat Statistik merilis angka ramalan produksi padi nasional yang menyebutkan bahwa produksi padi pada 2004 diperkirakan mencapai 53,67 juta ton gabah kering giling, atau mengalami peningkatan sebesar 1,5 juta ton (2,93 persen) dibanding produksi pada 2003. Hal yang sama juga terjadi pada 2009. Seminggu sebelum pilpres dihelat pada 8 Juli, BPS mengumumkan bahwa produksi padi nasional pada 2009 diperkirakan mencapai 62,56 juta ton, atau naik sebesar 2,24 juta ton (3,71 persen) dibanding produksi pada 2008. Bagi sebagian kalangan, terutama yang selama ini meragukan akurasi data produksi padi/beras nasional, hal ini bukan sekadar kebetulan. Pola kenaikan tersebut dit

Subsidi untuk Keluarga Miskin

Dimuat di Koran Tempo, 21 Juli 2014 Profil kemiskinan yang dirilis Badan Pusat Statistik pada awal bulan ini (1 Juli) menyebutkan, jumlah penduduk miskin pada Maret 2014 mencapai 28,28 juta orang (11,25 persen), atau hanya berkurang 0,32 juta orang dibanding kondisi pada September 2013. Profil kemiskinan ini memberi konfirmasi mengenai dua hal. Pertama, dampak kenaikan harga bahan bakar minyak pada akhir Juni tahun lalu terhadap kehidupan masyarakat kecil cukup dalam. Ternyata, tidak sedikit dari mereka yang terjerembap ke jurang kemiskinan selepas kenaikan harga BBM dan hingga kini tetap miskin. Kedua, laju penurunan jumlah penduduk miskin terus melambat, bahkan boleh dibilang telah menyentuh titik jenuh. Hal ini menunjukkan kondisi kemiskinan yang terjadi sudah kronis (chronic poverty) serta cenderung persisten dan sulit diatasi. Mereka yang tengah bergelut dalam kemiskinan saat ini adalah penduduk dengan tingkat kapabilitas (pendidikan dan kesehatan) yang sangat rendah, tin

Tingkat Kemakmuran Indonesia Lompat 21 Peringkat

Koran Tempo, 5 Maret 2016 Kemakmuran ternyata bukan melulu soal seberapa banyak materi atau kekayaan yang dikumpulkan suatu negara. Kekayaan memang merupakan salah satu faktor penentu utama kemakmuran, tapi bukan segalanya. Dimensi kemakmuran lebih luas dari sekadar akumulasi kekayaan materi. Ia juga mencakup dimensi non-materi, seperti kegembiraan hidup dan prospek untuk membangun hidup yang lebih baik di masa mendatang. Legatum Institute, sebuah lembaga think-tank yang berkedudukan di London, mencoba membangun sebuah indikator yang diupayakan mampu mengukur sebaik mungkin kemakmuran suatu negara secara multi-dimensi. Indikator tersebut tidak hanya didasarkan pada pendapatan, tapi juga sejumlah dimensi kualitatif yang merepresentasikan kesejahteraan (well-being). Indikator yang dikembangkan tersebut dikenal sebagai Legatum Prosperity Index yang diluncurkan setiap tahun sejak 2009. Indeks tersebut merupakan indeks komposit yang mencakup 89 variabel, dari variabel klasik se