BEBAN sektor pertanian kian berat. Sektor ini tidak hanya menanggung surplus tenaga kerja, tetapi juga kemiskinan. Badan Pusat Statistik mencatat, jumlah angkatan kerja nasional pada Februari 2014 mencapai 125,3 juta orang. Dari jumlah ini, 40,8 juta orang terserap di sektor pertanian.
Meski harus menanggung surplus tenaga kerja, sektor pertanian terperangkap dalam jebakan pertumbuhan rendah selama dasawarsa terakhir.
Sejak 2004, sektor ini tak pernah tumbuh di atas 4 persen kecuali pada 2008 tumbuh 4,8 persen. Alhasil, tingkat kesejahteraan sebagian besar petani tak kunjung meningkat signifikan.
Sejak 2004, sektor ini tak pernah tumbuh di atas 4 persen kecuali pada 2008 tumbuh 4,8 persen. Alhasil, tingkat kesejahteraan sebagian besar petani tak kunjung meningkat signifikan.
Hal ini tecermin, antara lain, dari tren pergerakan indeks nilai tukar petani—indikator yang selama ini dianggap merefleksikan kesejahteraan petani—yang cenderung melandai dalam beberapa tahun terakhir.
Potret buram kesejahteraan petani juga tersaji pada hasil Survei Pendapatan Rumah Tangga Usaha Pertanian 2013 (SPP 2013) yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada 1 Juli.
BPS mencatat, pendapatan rumah tangga tani dari usaha di sektor pertanian rata-rata hanya Rp 12,4 juta per tahun atau Rp 1 juta per bulan. Itu artinya, petani bakal sulit merengkuh kesejahteraan apabila hanya mengandalkan usaha tani.
Garis kemiskinan di daerah pedesaan pada Maret 2014 sebesar Rp 286.097 per kapita per bulan. Artinya, rumah tangga tani yang terdiri atas empat anggota bakal berkategori miskin apabila dalam sebulan memiliki pengeluaran/pendapatan lebih kecil dari Rp 1,2 juta.
Mudah dipahami, rendahnya rata-rata pendapatan dari usaha tani bertalian erat dengan fakta bahwa sebagian besar petani kita merupakan petani tanaman pangan (padi dan palawija) dengan penguasaan lahan yang sempit.
Hasil Sensus Pertanian 2013 menunjukkan, sebagian besar petani tanaman pangan mengusahakan lahan kurang dari setengah hektar.
Hasil Sensus Pertanian 2013 menunjukkan, sebagian besar petani tanaman pangan mengusahakan lahan kurang dari setengah hektar.
Tidak ekonomis
Lahan yang sempit mengakibatkan usaha tani tanaman pangan tidak ekonomis. Hasil SPP 2013 memperlihatkan, rata-rata pendapatan rumah tangga tani tanaman pangan dari usaha pertanian hanya sekitar Rp 11 juta per tahun. Sulit rasanya petani bakal bertahan hidup jika hanya mengandalkan pendapatan sebesar ini.
Meski perkembangan teknologi pertanian selama beberapa dasawarsa terakhir telah berkontribusi pada peningkatan efisiensi usaha tani, sempitnya lahan yang diusahakan mengakibatkan efisiensi dan skala ekonomi usaha tani menjadi sulit digapai. Hal ini diperparah dengan relatif murahnya harga komoditas tanaman pangan jika dibandingkan dengan harga komoditas pertanian yang lain.
Tak usah heran jika hingga kini kemiskinan tetap berpusat di sektor pertanian, terutama subsektor tanaman pangan. BPS mencatat, dari total jumlah penduduk miskin yang mencapai 28,28 juta orang pada Maret 2014, sekitar 63 persen tinggal di desa.
Mudah diduga, sebagian besar mereka adalah pekerja di sektor pertanian, baik sebagai petani maupun buruh tani. Karena itu, kemiskinan bakal berkurang signifikan apabila pendapatan dan daya beli para petani dapat ditingkatkan.
Peningkatan pendapatan ini tidak hanya berdampak pada penurunan kemiskinan, tetapi juga bakal menggerakkan perekonomian nasional, terutama di pedesaan, karena jumlah pekerja di sektor pertanian mencakup 35 persen dari total angkatan kerja.
Tiga cara
Bagaimana caranya? Berdasarkan hasil SPP 2013, setidaknya ada tiga hal yang bisa dilakukan. Pertama, untuk usaha pertanian berbasis lahan (tanaman pangan, perkebunan, dan hortikultura), bisa menggenjot kapasitas petani dalam berproduksi dengan cara meningkatkan rata-rata luas lahan pertanian (faktor produksi) setiap petani. Sayang, hal ini tidak mudah untuk diwujudkan.
Pengalaman menunjukkan, reforma agraria yang selama ini disuarakan banyak pihak masih jauh panggang dari api. Betapa tidak, dari sekitar 6 juta hektar lahan pertanian yang dijanjikan pemerintah untuk dibagikan kepada petani, realisasinya baru 700.000 hektar. Rumitnya birokrasi di tingkat daerah merupakan salah satu kendala utama.
Kedua, kegiatan usaha tani harus didorong ke subsektor atraktif yang lebih ekonomis dan berorientasi ekspor, seperti subsektor perkebunan, peternakan, perikanan, dan hortikultura.
Tentu, hal ini dilakukan tanpa mengabaikan dan mengorbankan peran penting subsektor tanaman pangan. Karena itu, pada saat yang sama pemerintah harus memberi insentif kepada petani tanaman pangan, misalnya berupa subsidi input (pupuk, benih, dan sarana produksi) serta jaminan harga bagi hasil produksi petani.
Ketiga, aktivitas ekonomi di luar usaha tani (off-farm)—seperti usaha kecil menengah, perdagangan, dan jasa lainnya—di daerah pedesaan harus didorong. Hal ini sangat penting untuk meningkatkan diversifikasi sumber pendapatan bagi petani, khususnya petani tanaman pangan. Dengan demikian, mereka tidak hanya bertumpu pada kegiatan usaha tani (on-farm).
Hasil SPP 2013 menunjukkan, pendapatan dari usaha di sektor pertanian hanya mencakup 46,7 persen dari total pendapatan rumah tangga pertanian, yang rata-rata Rp 26,6 juta per tahun atau Rp 2,2 juta per bulan. Sebanyak 53,3 persen sisanya disumbang oleh pendapatan yang bersumber dari kegiatan selain usaha di sektor pertanian. Artinya, kegiatan off-farm berperan penting menopang kehidupan petani. ●
Komentar
Posting Komentar