Langsung ke konten utama

Merdeka dari Impor Pangan

Dimuat di Koran Tempo, 20 Agustus 2014

Tahun ini, Badan Urusan Logistik (Bulog) berencana mengimpor beras sebesar 500 ribu ton untuk memperkuat cadangan beras nasional. Dari rencana impor sebanyak itu, yang sudah direalisasi sekitar 50 ribu ton (Antara, 8 Agustus).

Di tengah ingar-bingar perayaan hari kemerdekaan nasional, impor beras tersebut kembali mempertegas satu hal: Indonesia belum merdeka dari jebakan impor pangan. Padahal, negeri yang luas daratannya mencapai 188 juta hektare ini telah diberkahi Tuhan dengan kesuburan tanah yang melegenda. Bukankah di negeri yang subur ini, "tongkat kayu bisa jadi tanaman"?

Ironisnya, bukan hanya beras yang kita impor. Data statistik menunjukkan, nyaris semua komoditas pangan strategis negeri ini harus dicukupi dari impor. Selamadasawarsa terakhir, tujuh komoditas pangan utama yang mencakup gula, kedelai, jagung, beras, bawang merah, daging sapi, dan cabai harus dicukupi dari impor.

Seolah tak bisa direm, tren impor pangan juga terus meningkat dari tahun ke tahun. Dalam sepuluh tahun terakhir,impor tujuh komoditas pangan utama tersebut meningkat rata-rata 58 persen per tahun. Seandainya ketujuh komoditas pangan tersebut tak bisa dihasilkan oleh petani kita, mungkin bisa dimaklumi. Tapi, faktanya, negeri ini pernah swasembada, bahkan berjaya, sebagai eksportir pada sebagian besar komoditas tersebut. Tengoklah catatan berikut.

Sebelum merdeka, Nusantara adalah pengekspor gula terbesar di dunia. Hingga 1970-an, kita termasuk salah satu pengekspor sapi. Pada 1984, kita swasembada beras dan gula, bahkan mampu mengekspor beras ke luar negeri, sehingga membikin harga beras di pasar internasional jatuh dari US$ 250 per ton menjadi US$ 150 per ton. Satu tahun kemudian hingga 1995, kita juga berhasil swasembada kedelai.

Kini, situasinya justru terbalik. Secara faktual, lebih dari separuh kebutuhan gula nasional harus diimpor. Tahun lalu, kita juga harus mengimpor setara dengan 700 ribu ekor sapi untuk memenuhi kebutuhan daging nasional. Dalam soal beras, kita sering dituduh sebagai biangkerok melambungnya harga beras di pasar internasional karena terlalu banyak mengimpor. Kita juga kerap dipusingkan dengan harga kedelai yang melambung karena 70 persen kebutuhan kedelai nasional harus diimpor.

Miris!Itulah faktanya. Pemerintah saat ini boleh saja berbangga dengan segala pencapaian pembangunan yang berhasil direngkuh selama sepuluh tahun terakhir. Namun, dalam soal kemandirian pangan, nyaris tak ada prestasi yang bisa dibanggakan.

Kapasitas produksi pangan memang berhasil digenjot. Tapi, pada saat yang sama, hal itu tak mampu memenuhi kebutuhan pangan yang terus meningkat seiring dengan perbaikan daya beli masyarakat, dan jumlah penduduk kelas menengah yang terus bertumbuh. Alhasil, pemerintah terbukti telah gagal dalam mewujudkan swasembada beras, jagung, kedelai, gula, dan daging sapi.

Karena itu, harapan agar negeri ini merdeka dari impor pangan ada pada pemerintah mendatang.Janji duet Jokowi-JKuntuk mewujudkan swasembada pangan, setidaknya untuk komoditas strategis seperti beras dan gula, harus dibuktikan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Produksi Padi dan Pemilihan Presiden

Dimuat di Koran Tempo, 04 Juli 2014 Ada pola yang menarik bila kita mengulik tren data produksi padi nasional selama beberapa tahun terakhir. Kenaikan produksi ternyata selalu terjadi pada tahun-tahun saat pemilihan presiden dihelat. Sebagai contoh, pada 1 Juli 2004, tiga hari menjelang pilpres putaran pertama, Badan Pusat Statistik merilis angka ramalan produksi padi nasional yang menyebutkan bahwa produksi padi pada 2004 diperkirakan mencapai 53,67 juta ton gabah kering giling, atau mengalami peningkatan sebesar 1,5 juta ton (2,93 persen) dibanding produksi pada 2003. Hal yang sama juga terjadi pada 2009. Seminggu sebelum pilpres dihelat pada 8 Juli, BPS mengumumkan bahwa produksi padi nasional pada 2009 diperkirakan mencapai 62,56 juta ton, atau naik sebesar 2,24 juta ton (3,71 persen) dibanding produksi pada 2008. Bagi sebagian kalangan, terutama yang selama ini meragukan akurasi data produksi padi/beras nasional, hal ini bukan sekadar kebetulan. Pola kenaikan tersebut dit

Subsidi untuk Keluarga Miskin

Dimuat di Koran Tempo, 21 Juli 2014 Profil kemiskinan yang dirilis Badan Pusat Statistik pada awal bulan ini (1 Juli) menyebutkan, jumlah penduduk miskin pada Maret 2014 mencapai 28,28 juta orang (11,25 persen), atau hanya berkurang 0,32 juta orang dibanding kondisi pada September 2013. Profil kemiskinan ini memberi konfirmasi mengenai dua hal. Pertama, dampak kenaikan harga bahan bakar minyak pada akhir Juni tahun lalu terhadap kehidupan masyarakat kecil cukup dalam. Ternyata, tidak sedikit dari mereka yang terjerembap ke jurang kemiskinan selepas kenaikan harga BBM dan hingga kini tetap miskin. Kedua, laju penurunan jumlah penduduk miskin terus melambat, bahkan boleh dibilang telah menyentuh titik jenuh. Hal ini menunjukkan kondisi kemiskinan yang terjadi sudah kronis (chronic poverty) serta cenderung persisten dan sulit diatasi. Mereka yang tengah bergelut dalam kemiskinan saat ini adalah penduduk dengan tingkat kapabilitas (pendidikan dan kesehatan) yang sangat rendah, tin

Tingkat Kemakmuran Indonesia Lompat 21 Peringkat

Koran Tempo, 5 Maret 2016 Kemakmuran ternyata bukan melulu soal seberapa banyak materi atau kekayaan yang dikumpulkan suatu negara. Kekayaan memang merupakan salah satu faktor penentu utama kemakmuran, tapi bukan segalanya. Dimensi kemakmuran lebih luas dari sekadar akumulasi kekayaan materi. Ia juga mencakup dimensi non-materi, seperti kegembiraan hidup dan prospek untuk membangun hidup yang lebih baik di masa mendatang. Legatum Institute, sebuah lembaga think-tank yang berkedudukan di London, mencoba membangun sebuah indikator yang diupayakan mampu mengukur sebaik mungkin kemakmuran suatu negara secara multi-dimensi. Indikator tersebut tidak hanya didasarkan pada pendapatan, tapi juga sejumlah dimensi kualitatif yang merepresentasikan kesejahteraan (well-being). Indikator yang dikembangkan tersebut dikenal sebagai Legatum Prosperity Index yang diluncurkan setiap tahun sejak 2009. Indeks tersebut merupakan indeks komposit yang mencakup 89 variabel, dari variabel klasik se